Categories: Tips

Gender Issue: Benarkah Wanita Memang Harus di Bawah Pria?

Seorang Hendri Rotinsulu pernah mengatakan bahwa “wanita dijajah pria sejak dulu” dalam lagunya berjudul Sabda Alam. Berdasarkan lagu ini, wanita hanyalah perhiasan dan pria ditakdirkan berkuasa kepadanya. Wanita hanyalah makhluk lemah yang tak bisa apa-apa tanpa pria yang memilikinya.

Benarkah demikian? Well, bicara posisi pria dan wanita dalam eksistensinya di dunia ini memang sedikit pelik. Di satu sisi, wanita dianggap makhluk minor yang harus mengabdi pada pria. Bahkan dalam beberapa keyakinan, ada aturan yang mangharuskan wanita tunduk dengan jaminan surga. Di sini selanjutnya, Kartini sudah mencuatkan emansipasi sejak lampau meski beliau sendiri dipoligami oleh suaminya lalu mati muda.

kartini dan suami [image source]
Isu gender sebenarnya bukan perkara baru yang akhir-akhir ini muncul karena banyaknya aksi asusila berujung hilangnya nyawa. Isu ini sudah ada sejak lama dan selalu pasang-surut muncul sesuai dengan kebutuhan zaman. Misal, di beberapa negara Timur Tengah wanita tak diberi hak untuk ikut dalam pemerintahan. Bahkan dalam hal-hal kecil seperti menyetir dan mengikuti olahraga. Selanjutnya di kawasan Pakistan di mana anak gadis dijadikan komoditas pengganti uang dan pelunasan utang.

Di Indonesia sendiri, pasca munculnya emansipasi ala Kartini, wanita-wanita mulai bergerak untuk menunjukkan eksistensinya. Organisasi-organisasi yang digawangi oleh wanita juga tidak sedikit dan memberikan kontribusi yang besar. Bahkan, Indonesia pernah memiliki presiden wanita.

feminisme Amerika [image source]
Lantas apa yang membuat wanita tampak begitu lemah hingga selalu dianggap di bawah pria?

Pertama kita lihat secara fisik. Sebagian besar wanita memiliki tubuh yang cenderung lebih lemah daripada pria. Untuk pekerjaan berat, wanita selalu membutuhkan bantuan pria. Sisi feminin pada wanita dianggap sebagai kelemahan hingga membuat mereka lemah dan merasa lemah. Ya, pada dasarnya banyak wanita yang selalu merasa dirinya lemah hingga selalu menggantungkan hidupnya pada pria. Padahal, mereka mampu dan bisa untuk melakukannya, bahkan bisa mengungguli pria. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?

Kedua adalah pola pikir. Banyak wanita muda di kawasan desa enggan sekolah tinggi dan bekerja dengan alasan: “Ah, nanti punya suami. Mereka pasti menghidupi kita meski cuma dengan nasi dan garam.”  Pola pikir yang seperti ini membuat mereka melemahkan diri sendiri. Sementara itu pria akan merasa berkuasa dan punya pikiran: “Kan aku yang ngasih makan. Mau aku perlakukan dengan kasar ya wajar saja.” Untunglah zaman sekarang sudah banyak wanita yang punya pemikiran terbuka dan mau membuang jauh-jauh pemikiran di atas.

KDRT [image source]
Di daerah agar terpencil seperti suku primitif Kenya bahkan memiliki pandangan yang lebih nyentrik. Wanita di kawasan ini menganggap kekerasan dan penindasan yang diberikan pria adalah wujud kasih sayang. Wanita mau melakukan apa saja meski akan dipukul hingga babak belur. Pola pikir wanita di daerah ini sudah mengarah ke psudo masochistic. Babak belur berarti bahagia.

Budaya menjadi penyebab ketiga mengapa wanita tampak begitu lemah. Wanita yang hidup di kebudayaan patrilineal selalu dianggap lemah dan tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan yang berpengaruh. Wanita adalah manusia pelengkap yang tak bisa melakukan apa-apa. Budaya patrilineal mengakar kuat di banyak masyarakat dunia, tak terkecuali sebagian besar Indonesia.

wanita arab [image source]
Gerakan perubahan mulai pencanangan emansipasi dan paham feminisme sudah dicanangkan dengan gencar. Sayangnya paham pria dominan masih mengakar kuat hingga susah untuk dihapuskan. Akhirnya meski wanita tak salah apa-apa mereka akan terkena dampaknya. Misal pada kasus asusila yang dialami Yuyun, banyak pihak berkomentar miring dengan mengatakan: salah sendiri jalan sendiri? Orang mati pun masih disalahkan.

Pria-pria yang berpandangan bahwa wanita itu lemah pun juga tak sepenuhnya bisa disalahkan. Mengapa demikian? Karena wanita juga ikut menjaga kebudayaan patrilineal itu terus mengakar. Mereka selalu berusaha membuat dirinya sebagai pihak-pihak yang tersakiti, pihak lemah, dan pihak yang harus dilindungi. Jika saja semua wanita mau berontak, maka situasi tak akan sepelik sekarang.

Kasus Yuyun [image source]
Zaman sekarang, kita tak perlu lagi membahas kedudukan pria dan wanita. Yang perlu dibahas adalah nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Kasus-kasus asusila terjadi bukan karena wanita pakai baju minim lalu pria tergoda. Kasus seperti bisa terjadi karena moralitas manusia yang rendah.

Jadi, apakah wanita memang harus di bawah pria? Anda pasti sudah tahu jawabannya, kan?

Share
Published by
Adi Nugroho

Recent Posts

Penemuan Rafflesia Hasseltii Berbuntut Panjang, Oxford Dianggap Pelit Apresiasi

Sedang viral di platform media sosial X mengenai kehebohan penemuan bunga Rafflesia Hasseltii. Yang menemukan…

1 day ago

4 Aksi Pejabat Tanggap Bencana Sumatera yang Jadi Sorotan Netizen

Sumatera berduka setelah banjir bandang disertai tanah longsor menyapu Pulau Sumatera bagian utara. Tak hanya…

3 days ago

Kisah Pilu Warga Terdampak Bencana Sumatera, Sewa Alat Berat Sendiri untuk Cari Jenazah Ibunya

Ribuan kabar duka dari Pulau Sumatera. Salah satunya adalah seorang pemuda bernama Erik Andesra, pria…

6 days ago

Risiko Bencana Tinggi, Anggaran BNPB Kena Efisiensi

Masih teringat dahsyatnya bencana alam di Sumatera bagian Utara. Aceh, Medan, Tapanuli, Sibolga, hingga sebagian…

1 week ago

Insiden Tumblr Hilang di KRL Berujung Pemecatan Karyawan Sana Sini

Jangan remehkan kekuatan tumbler. Tak hanya tahan pecah, hilang dikit, dua-tiga orang bisa kena pecat…

1 week ago

Mau Blokir Cloudflare dan Larang Thrifting di Medsos, Komdigi Tuai Kritik

Sedang ramai rakyat lawan penguasa dimana salah satunya terjadi di Indonesia. Entah siapa yang salah,…

2 weeks ago