Lucu

Bukan Penjara, Begini Cara Penguasa Zaman Dulu Menghukum Orang yang Membangkang

Sekarang, kejahatan adalah hal lumrah yang terjadi di mana saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk para pejabat negara. Makanya tak heran jika sel-sel tahanan penuh oleh orang-orang cerdas yang pernah punya kedudukan dan pangkat tinggi dalam sebuah pemerintahan.

Berbeda sekali dengan zaman dahulu. Saat nusantara masih dikuasai oleh kerajaan, hukuman yang diberikan kepada para pelanggar bukanlah tahanan, denda, atau hukuman mati, melainkan kutukan atau septha. Siapa yang berkhianat kepada raja maka ia akan dikenai kutukan mematikan berupa kesialan hidup, penyakit berbahaya, bayi yang terus gugur bagi wanita, atau juga keluarga yang ikut terkena dampak perbuatan si pelanggar.

Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu [Sumber gambar]
Seperti contoh, kutukan yang diterapkan oleh kerajaan Sriwijaya yang tertulis dalam Prasasti Kota Kapur dan Telaga Baru. Isinya sumpah yang ditujukan kepada pejabat kerajaan agar tak melanggar perintah raja. Selain Sriwijaya, Majapahit juga menerapkan hal yang sama seperti berdasar Prasasti Tuhannaru. Mereka yang melanggar hukum akan diberi kutukan yang diberikan melalui sebuah upacara sakral untuk meminta bantuan dewa dan makhluk gaib lainnya.

Konon, hukuman jenis kutukan ini lebih ditakuti oleh masyarakat ketimbang hal mengerikan seperti pancung, ditusuk keris, serta disuruh bertarung dengan harimau. Hukuman kutukan memang dijadikan senjata andalan karena para penduduk sangat takut kepada para raja (petinggi) karena mereka memiliki kesaktian, sehingga tak akan bisa dilawan siapapun.

Selain faktor takut terhadap raja, masa kerajaan dulu adalah era di mana agama Hindu dan Buddha Berjaya. Penduduk yang hidup di masa ini adalah mereka yang teguh memegang kepercayaan akan tuhan. Hal ini sebenarnya dimanfaatkan oleh para penguasa untuk membuat aturan yang berkaitan dengan kapatuhan. Kutukan tertulis biasanya mengandung unsur agama dan sakral sehingga dipatuhi oleh semua penduduk.

Sumpah Palapa Gajah Mada [Sumber gambar]
Jika mau berbicara tentang hukum pidana, kerajaan zaman dahulu sebenarnya sudah memiliki kitab pidana. Hanya saja, masyarakat lebih takut kepada para dewa dibanding dengan penguasa yang sama-sama manusia, walau hanya beda kedudukan. Namun, seiring lunturnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, kutukan juga ditinggalkan. Orang-orang mulai berpindah kepada kitab pidana yang hukumannya langsung dirasakan oleh pelanggar tanpa harus menunggu lama.

Dengan begitu, kutukan zaman kerajaan hanya tinggal kenangan. Para arkeolog kemudian mengkategorikan mereka sebagai materi sejarah dari masa lalu. Prasasti ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia, terutama yang berada dalam ranah kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya.

Share
Published by
Ayu

Recent Posts

Sepak Terjang Kwik Kian Gie, Ahli Ekonomi dan Politikus yang Telah Tutup Usia

Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya, Kwik Kian Gie, yang tutup usia di hari Senin…

2 days ago

Kontroversi Statemen Resmi Kepolisian tentang Penyebab Kematian Diplomat Muda RI

Misteri kematian seorang diplomat muda yang bekerja di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) masih meninggalkan tanda…

4 days ago

Tsunami Sapu Jepang Usai Gempa 8,7 yang Guncang Rusia, Sejumlah Negara Terdampak

Jepang kembali diterpa tsunami. Kali ini terjadi gara-gara pusat gempa yang jauhnya ribuan kilometer dari…

5 days ago

Skandal Sister Hong, Pura-pura Jadi Wanita Demi Perdayai Kaum Pria dan Harta

Sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat Negeri Tirai Bambu, China, seorang pria yang ditangkap gara-gara menyamar…

1 week ago

Bruce Willis Demensia, Tak Ingat Dirinya Aktor Dunia

Bagi aktor kelas dunia, Bruce Willis, dunia terus berputar dan waktu akan terus berjalan. Umur…

1 week ago

Dijuluki ‘Thomas Alva Edisound,’ Inikah Sang Penemu Sound Horeg?

Di balik fenomena dan polemik Sound Horeg yang menggemakan Indonesia, muncul sosok yang kini ramai…

1 week ago