Jiwa umat beragama di Indonesia sedang terguncang, seperti kata lirik lagu Separuh Aku-nya Noah, “dan terjadi lagi~” Minggu (13/1), sebuah gereja di Jalan Permai 4 Blok 8 Griya Martubung, Medan, Sumatra Utara diserbu warga setempat pada saat ibadah sedang berlangsung. Warga yang mengepung gereja tersebut mayoritas beragama Islam dan berkali-kali meneriakkan takbir di depan umat Kristiani yang tengah beribadah.
Hal ini menjadi viral di media sosial setelah pengguna instagram @eunikeyulia, seorang jemaat dalam Gereja Bethel Indonesia jemaat Filadelfia, mengunggahnya di akun pribadinya. Video yang diunggah @eunikeyulia kini telah ditonton sebanyak 68 ribu kali dan menuai lebih dari 21 ribu komentar. Sebenarnya, apa sih yang terjadi?
Di tengah-tengah ibadah, sekelompok muslim yang tinggal di Jalan Permai, Kelurahan Besar, mendatangi gereja dan meminta rumah ibadah tersebut ditutup. Bahkan, berdasar video yang diambil dari smartphone @eunikeyulia, beberapa kali warga sekitar rumah ibadah tersebut meneriakkan takbir, padahal di dalam gereja, rakyat Indonesia beragama Kristen sedang beribadah.
https://www.instagram.com/p/Bsj7yGHH1eE/
Dikutip dari Kompas.com, Pemerintah melalui Kementerian Agama membuat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah. Peraturan Bersama tersebut berisi kewajiban pihak yang akan mendirikan rumah ibadah untuk menyerahkan daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah sejumlah 90 orang, serta dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah dan kepala desa. Hal ini bukan tidak dilakukan oleh pengurus Gereja Bethel Indonesia jemaat Filadelfia di Medan. Mereka telah mengumpulkan 90 orang warga setempat lengkap dengan tanda tangan dan KTP yang mendukung berdirinya gereja di pemukiman mereka.
https://www.instagram.com/p/BskXSInnu0s/
Sayangnya, warga muslim—mayoritas yang bertempat tinggal di Jalan Permai 4 Blok 8 Griya Martubung tersebut mengeluarkan pendapat tentang penutupan gereja. Hal tersebut dilakukan karena mereka menganggap kegiatan gereja meresahkan warga. Banyak asumsi yang beredar di media sosial, bahwa warga terganggu dengan aktivitas parkir penghuni gereja, atau juga suara pujian mereka. Warga muslim di kawasan tersebut pun memulai sebuah petisi kecil-kecilan, dengan tanda tangan mereka yang mencetuskan ketidaksetujuan untuk pendirian rumah ibadah umat Kristiani di sana.
Namun, menurut @eunikeyulia, surat berisi tanda tangan tersebut mendapat kejanggalan—tidak mencantumkan nomor dan bukti KTP, serta tanda tangan yang dirasa mirip-mirip. Umat Kristiani yang beribadah di sana tak terima jika rumah ibadahnya harus ditutup, tetapi untuk meredam konflik karena desakan terus-menerus dari warga di sekitar, akhirnya mereka hanya beribadah satu minggu sekali selama 2,5 jam—padahal biasanya, ibadah hari Minggu bisa berlangsung dari jam 6 hingga 10 pagi.
Di sisi lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam sebuah dialog mengungkapkan kasus pelanggaran HAM dan kebebasan beragama telah tercatat sebanyak 15 kasus sepanjang tahun 2018. Di antaranya juga berkat izin pendirian rumah ibadah yang tak kunjung turun padahal persyaratan sudah lengkap.
BACA JUGA: Inilah Toleransi Antar Umat Beragama yang Hanya Ada Saat Bulan Ramadhan, Bacanya Bikin Haru
Mungkin, sebagian rakyat Indonesia telah lupa dengan Pancasila. Bagaimana Panitia BPUPKI mengganti sepakat mengganti usulan Ir. Soekarno untuk rumusan Pancasilan sila pertama—yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan yang Maha Esa, seperti yang kita ilhami bersama, karena Indonesia tidak hanya dihuni oleh masyarakat beragama Islam, tapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Apakah hal ini membuktikan masyarakat Indonesia sudah lupa tentang pribadi alias dasar negara sendiri? Islam juga tak pernah mengajarkan untuk membenci agama lain dan merasa miliknya paling benar. Lagi-lagi, mungkin umat muslim di kawasan Jalan Permai 4 Blok 8 Griya Martubung lupa dalam surat Al-Kafirun ada bunyi “lakum diinukum waa liya diin,” pada ayat 6—yang berarti bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Kasus penggerebekan gereja ini sudah terjadi dari tahun 2014, tetapi sayang sekali hingga sekarang belum juga mendapatkan titik temu, malah semakin banyak saja problema serupa. Permintaan banyak lembaga untuk Pemerintah mengkaji ulang Peraturan Menteri Bersama tentang pendirian rumah ibadah pun belum digubris hingga sekarang. Mau sampai kapan Indonesia menjadi tempat yang darurat toleransi?