in

Jeritan Gerbong Maut : Neraka di Tengah Perjalanan

Sebelumnya, diceritakan bahwa seluruh tahanan telah dimasukkan ke dalam gerbong barang. Mereka terdiri dari masyarakat sipil dan beberapa gerilyawan Indonesia. Kali ini, kisah berlanjut pada kejadian selama perjalanan menuju ke Surabaya. Tak lama saat kereta api dari Situbondo tiba pada pukul 7 pagi, ketiga gerbong lalu digandengkan dan ditaruh pada posisi paling belakang. Karena kondisinya yang terkunci rapat dan tanpa dilengkapi dengan jendela, tak ada yang tahu bahwa gerbong barang itu berisi para tawanan. Setelah satu jam menunggu, kereta pun perlahan bergerak berangkat meninggalkan stasiun Bondowoso.

Di tengah perjalanan antara Bondowoso menuju ke Kalisat, sekelompok pejuang berusaha menggagalkan keberangkatan kereta dengan cara meletakkan sebuah ranjau darat yang dihubungkan dengan baterai. Hal ini sejalan dengan keterangan Kuswari (salah satu penumpang selamat) saat diwawancarai pada 14 Mei 1980 di Bondowoso.

Ilustrasi pejuang mencoba menghadang kereta [sumber gambar]
Begitu pula dengan kisah yang dituturkan Moh. Tayib (penumpang selamat), saat diwawancarai pada 4 Juli 1980 di Bondowoso. Ia merasakan ledakan itu terjadi di dekat stasiun Ajung. Sayang, semua upaya tersebut sama sekali tak berpengaruh. Baik pada rangkaian gerbong maupun rel. Sesampainya di stasiun Kalisat, kereta api berhenti dan gerbong dilepas sembari menunggu kedatangan sepur lain dari jurusan Banyuwangi. Karena sepanjang jalan terjadi gangguan dari para gerilyawan, hal ini sontak membuat tentara Belanda marah besar.

Saking berangnya, para serdadu oranje itu membiarkan gerbong barang yang berisi tawanan dijemur terik sinar matahari. Bisa dibayangkan bagaimana gaduhnya suara di dalam. Para penumpang yang berteriak minta tolong agar dibukakan barang sejenak, tak dihiraukan sama sekali oleh tentara Belanda. Udara panas yang menyeruak, membuat satu persatu dari mereka berguguran.

Ilustrasi gerbong barang tempat para tahanan [sumber gambar]
Menurut koran Sinar Harapan dalam judul Mengenang Peristiwa Gerbong Maut terbitan 17 Juli 1965, Beberapa dari penumpang diketahui telah pingsan. Sedangkan mereka yang masih bertahan, saling berebut celah untuk menghirup udara segar. Memang, saat peristiwa berdarah itu berlangsung, kondisi gerbong sangat berlainan satu dengan lainnya.

Pada judul Cukilan Sejarah Perjuangan Gerbong Maut, Majalah Liberty edisi 17 Juli 1965 mencatat, keadaan Gerbong GR No. 5769 dan GR No. 1052 dalam keadaan baik sehingga udara tak ada yang masuk sama sekali. Saat memasuki stasiun Jember, di gerbong inilah sudah ada penumpang yang meninggal.

Situasi di dalan gerbong tempat para tahanan tewas [dokumentasi tim Boombastis.com]
Beragam usaha terus dilakukan para penumpang yang masih bertahan hidup. Termasuk menggedor-gedor dinding gerbong untuk menarik perhatian orang di sekitar. Sayang, karena rangkaian diletakkan di posisi paling belakang, tak ada satupun yang tergerak untuk menolong atau setidaknya datang memeriksa. Mujur, saat kereta kembali melaju di antara Klakah dan Probolinggo, hujan turun membasahi atap gerbong. Udara pun berubah sejuk untuk sementara.

Berdasarkan pengakuan Singgih (salah satu penumpang selamat) yang dilansir dari forum.detik.com, suasana di dalam gerbong sangat gelap. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang berkata pada dirinya. “pak singgih saya mati pak Singgih“. Kebetulan sekali Singgih saat itu hendak buang air kecil. Ia pun pergi ke sumber suara dan memberikan air kencingnya pada sang teman yang bernama Slamet Karsono untuk diminum. “suwon pak” ujarnya lirih. Ketika turun hujan pun, ia memerintahkan mereka yang masih kuat untuk melepas baju dan menempelkan badan di dinding gerbong agar mendapatkan sedikit kesejukan.

Ilustrasi perjalanan gerbong maut ke Surabaya [sumber gambar]
Berdasarkan pengakuan Kuswari pada wawancara di tanggal 14 Mei 1980, ketika kereta berhenti dan hujan telah reda, ada seorang bocah penjual rokok yang dekat dengan gerbongnya. Ia bertanya, ada di manakah gerangan mereka berada. Dari keterangan yang diperoleh, barulah Kuswari tahu dirinya berada di Stasiun Probolinggo. Perjalanan terakhir sebelum menuju Surabaya, telah memakan korban meninggal dan sakit parah. Entah pemandangan apa yang bakal terjadi sesampainya di Surabaya. Ajal para penumpangnya, bisa disaksikan pada kisah Aroma Kematian di Stasiun Surabaya.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

Menelusuri Sejarah Warna bendera Merah Putih yang jadi Identitas Negara Kita

Ambruk di Panggung Hingga Jadi Bidadari Tribun, Begini Kabar Terkini Via Vallen