Bergulirnya sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia di masa lalu, banyak meninggalkan beragam kisah tragis. Salah satunya ada pada sebuah gerbong barang kereta api milik kolonial Belanda. Dari rekam jejak sejarah yang tertulis, ada banyak masyarakat sipil dan sebagian pejuang Indonesa yang menjadi korban di dalamnya. Peristiwa berdarah itupun akhirnya diabadikan dalam sebuah nama, yaitu Gerbong Maut. Sebuah kejadian tragis yang mewarnai perjalanan Sejarah RI.
Saya pun melakukan wawancara sekaligus observasi kepada Bapak petugas Museum Brawijaya Malang, dan mencari data-data valid terkait dengan peristiwa yang ada. Kisah ini, nantinya akan disajikan menjadi tiga babak. Di mana tiap ceritanya memiliki alur peristiwa yang berkaitan satu dengan lainnya. Semua kejadian itu, berawal dari aksi polisionil Belanda yang menangkapi para gerilyawan dan penduduk sipil. Mereka dianggap membantu para pejuang dan kemudian menjebloskannya ke penjara.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kuswari (salah satu pelaku Gerbong Maut) yang dikutip dari jurnal skripsi Suhartoko berjudul Peristiwa Gerbong Maut (1999) , dirinya saat itu sedang ditahan di markas Veiliqheids dienst Mariniers Brigade (VDMB), untuk dilakukan proses interograsi. Pada jam 17.00, ia dikumpulkan bersama tahanan lainnya di kamar 17.

Tanggal 22 November 1947, Kuswari bersama 100 orang lainnya dipindahkan dan berkumpul menjadi satu di ruang nomor 10. Keesokannya pada 23 November 1947, mereka dibangunkan pukul 3.30 oleh sipir guna diberi penjelasan singkat dan disuruh mandi. Beranjak ke 4.30, terdengar panggilan agar para tahanan mengambil barang-barang pribadi mereka di kantor.
Komandan VDMB, Van Der Doord, kemudian datang pada pukul 5.00 WIB. Saat itu, para tawanan disuruh berbaris di muka rumah penjara untuk diabsen. Mereka selanjutnya digiring menuju stasiun dengan berjalan kaki. Pemindahan tahanan ini sejatinya bukanlah hal yang baru dan seringkali dilakukan saat kapasitas penjara telah penuh. Alhasil, saat proses pemindahan dilakukan, para penduduk setempat sering bergerombol di sekitar stasiun untuk melihat-lihat.
Pengiriman tahanan pada 23 November itu sendiri, merupakan yang paling nahas dan memakan banyak korban. Hal ini sejalan dengan pengakuan Singgih (salah satu penumpang selamat) yang termuat dalam brosur Peristiwa Gerbong Maut (1958) di halaman 1. Saat itu, para tawanan telah dipersiapkan sejak pukul 4.50 pagi. Di mana mereka semua dimasukan ke dalam gerbong barang yang terkunci rapat.
Sayang, kereta yang ditunggu agaknya datang terlambat. Sementara itu situasi di dalam rangkaian gerbong semakin gaduh. Riuh tak terkendali. Hal ini disebabkan udara yang ada semakin pengap dan panas karena terkunci rapat. Belum lagi ditambah dengan puluhan orang yang saling berdesak-desakan karena ukuran gerbong yang sempit. Semakin membuat panik situasi.