Perang kemerdekaan yang terjadi beberapa masa silam, banyak meninggalkan beragam kisah bagi para pelakunya. Salah satunya yang coba diceritakan kembali oleh Hadi Pranoto. Ia merupakan salah satu saksi hidup yang ikut berjuang dalam pergolakan revolusi Indonesia di Kota Solo dan sekitarnya.
Lahir dan besar di kota Banaran yang merupakan sebuah perkampungan di Kota Solo, Hadi muda ikut terlibat langsung dalam peperangan dengan Belanda. Ia sendiri merupakan mantan anggota Tentara Pelajar sejak 1946. Setahun setelah kemerdekaan Indonesia di proklamasikan. Kini, perang memang telah berlalu. Namun, memori di masa silam yang sempat merenggut masa kecilnya, coba diuraikan kembali oleh dirinya.
Siswa yang belajar tanpa buku dan kelas
Hadi yang kala itu masih duduk di bangku setingkat SMP, lebih banyak berada di lapangan daripada belajar di kelas. Hal ini terjadi karena ia harus ikut angkat senjata dan membantu perjuangan tentara republik di garis depan. “Kalau mau pergi sekolah, saya pamitan mau perang, bukan menuntut ilmu. Ibu sudah tahu dan selalu berdoa memohon keselamatan,” kata Hadi yang dilansir dari rappler.com.
Tentara cilik yang berjuang dengan senjata seadanya
Di usianya yang masih belia, Hadi harus menahan keinginannya bermain seperti anak seusia dirinya. Demi kemerdekaan, ia diharuskan ikut berperang dengan kondisi yang serba terbatas. Berbekal 7 pucuk senapan laras panjang, revolver, dan granat, Hadi dan kelompoknya yang berjumlah sekitar 10 hingga 20 orang, bergantian menggunakannya. Kelak, misinya itu dikenal dengan serangan umum 4 hari.
Terkena fitnah sebagai komunis dan terkena hukuman penjara
Tahun 1960, menjadi awal kelabu bagi Hadi. Kepindahannya ke Surakarta sebagai Kepala Bagian Reclasseering, rupanya tidak disukai oleh pegawai di instansi barunya tersebut. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menjatuhkan Hadi. Hingga pada puncaknya, ia difitnah sebagai simpatisan Komunis PKI.
Alhasil, dirinya pun diciduk tentara saat tengah berdinas di kantornya. Saat berada di dalam penjara. Sang istri pun sempat menjenguknya di penjara, sembari membawa lencana bintang sebagai bukti bahwa sang suami adalah veteran pejuang yang pernah berdinas di satuan AD. Namun sayang, respon yang ia terima sungguh di luar dugaan.
“Seorang tentara malah menginjak-injak bintang saya dengan kakinya sambil berujar bahwa tidak mungkin komunis ikut berjuang,” kata Hadi.
Kisah getir selama menjadi tahanan
Pada akhir 1965, Hadi dipindahkan ke Rutan Nusakambangan bersama dengan mereka yang dicuriga sebagai kaki tangan komunis. Selain dirinya yang pegawai negeri, para tahan politik (tapol) tersebut merupakan guru, tentara, pegawai, mahasiswa, petani, pedagang, hingga seniman. Kehidupan penjara yang suram pun menghantuinya saban hari.
Pesakitan di zama orba, terlunta-lunta di hari tua
Meski tak mengalami nasib buruk seperti tahanan lainnya, hati kecilnya tetap berontak. Ia merasa haknya telah dirampas secara sepihak. Padahal, Hadi tak pernah sekalipun ikut dan tahu menahu tentang aktivitas PKI di Indonesia. Sebagai tapol, ia kerap dimobiliasi oleh rezim Orde Baru untuk mencoblos Golkar. Pada KTP-nya pun, label ET (eks tapol) disematkan hingga dihapus pada tahun 2000-an. Saat reformasi menumbangkan Soeharto dan Orde Baru.
Miris. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kakek Hadi di atas. Hanya karena sebuah tuduhan tanpa bukti, kisah perjuangannya hingga Indonesia merdeka seolah lenyap tak berbekas di mata aparat Orde Baru. Sungguh, cerita di atas membuktikan kebenaran sebuah pepatah klasik “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan“. Astaghfirullah.