in

Kisah Haru Anak Raja Yogyakarta yang Pilih Jalan Hidup Sederhana Sebagai Rakyat Jelata

Tak banyak pangeran yang merupakan anak dari seorang raja, mau hidup dan tinggal kleleran di jalanan sebagai rakyat jelata. Namun, hal inilah yang nyata-nyata dilakukan oleh Ki Ageng Suryomentaram, seorang anak raja yang memilih jalan hidupnya sebagai rakyat jelata. Sebuah keputusan luar biasa yang tidak banyak dilakukan oleh kaum ningrat lainnya.

Dilansir dari tirto.id, Suryomentaram adalah anak ke-55 Hamengkubuwana VI yang lahir di lingkungan keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892. Memiliki nama kecil Raden Mas Kudiarmadji, ibunya bernama aden Ayu Retnomandojo yang merupakan salah satu istri selir raja. Sebagai putra kesayangan Hamengkubuwana VI, siapa sangka jika pilihan hidup Suryomentaram ternyata menuntunnya menjadi seorang rakyat biasa tanpa gelar pangeran di masa depan.

Berawal dari keprihatinannya terhadap kehidupan masyarakat

Meski bergelar sebagai pangeran dan putra dari Raja Hamengkubuwana VI, jiwa Suryomentaram pada saat itu telah ‘tergelitik’ oleh potret kehidupan rakyat di luar istana yang dirasakannya bak ‘bumi dan langit’. Laman tirto.id menuliskan, ia merasakan hal tersebut kala berada di dalam perjalanan dengan menggunakan kereta api.

Ilustrasi kehidupan masyarakat jelata [sumber gambar]
Suryomentaram kala itu termangu di dalam gerbong setelah melihat pemandangan yang disajikan oleh para petani saat bekerja di sawah. Begitu sederhana dan penuh kerja keras jika ingin mendapatkan sesuatu. Berbeda dengan dirinya sebagai pangeran yang menjalani hidup serba berkecukupan di dalam tembok istana. Hal ini terus mengusik jiwanya hingga ia memutuskan ingin mengembara sebagai rakyat jelata.

Ingin menjadi rakyat biasa namun ditolak oleh pihak kerajaan

Meski sempat ditolak oleh sang ayahm Raja Hamengku Buwono VI, hasratnya untuk menenangkan diri dengan menyelami kehidupan sebagai rakyat jelata semakin menggebu-gebu. Puncaknya saat Suryomentaram memutuskan pergi tanpa pamit. Laman tirto.id menuliskan, Ia pergi meninggalkan istana dan berjalan sendirian, tanpa mengenakan pakaian yang menunjukkan bahwa ia seorang putra raja, hanya membawa bekal secukupnya.

Keinginannya sempat dilarang oleh Raja Hamengku Buwono VI [sumber gambar]
Semasa di pengembaraan, ia memakai nama Natadangsa agar tak mudah ditelusuri. Sang pangeran yang telah menjalani hidup sebagai rakyat biasa, harus bekerja serabutan agar bisa menopang kehidupannya. Selain menjadi kuli, Suryomentaram alias Natadangsa juga pernah berjualan batik hingga menjajal profesi sebagai buruh tani. Pendeknya, semua yang dilakukannya merupakan bentuk keinginannya menjalani hidup sebagai orang biasa.

Meninggalkan gelar pangeran dan pilih ‘hidup bebas’ di jalanan

Setelah sang ayahanda mangkat, barulah keinginannya menjadi rakyat jelata bisa terlaksana sepenuhnya. Dilansir dari tirto.id, Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Hamengkubuwana VIII (1921-1939), agar diizinkan meninggalkan istana. Sebelum pergi, ia bahkan menjual seluruh harta benda seperti mobil dan kuda, yang hasilnya diberikan pada sopir maupun abdi dalemnya. Saat hidup di dalam istana, Suryomentaram merasa tak menemukan sosok sejati yang hidup sederhana sebagai pekerja keras, dan ternyata melekat pada sosok rakyat biasa.

Ilustrasi hidup merakyat Ki Ageng Suryomentaram [sumber gambar]
Pada fase inilah, dirinya benar-benar memilih hidup membumi dalam masyarakat dan menanggalkan statusnya sebagai pangeran. Selama menjalani hidup sebagai kaum jelata, ia membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga dan bercocok tanam di atasnya sebagai petani. Suryomentaram yang tertarik mendalami ilmu psikologi manusia, kelak menelurkan karya yang bernama Ilmu Bahagia, hasil olah batin dan pemikirannya pada selama menjalani kehidupan sebagai orang sederhana.

Rumuskan ilmu bahagia dan sempat diundang presiden Sukarno ke Istana

Dalam Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram (2012) karya Muhaji Fikriono yang dikutip dari tirto.id, ia sangat yakin bahwa untuk memahami manusia yang universal cukup dengan mengamati dan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah kawruh jiwa atau kawruh begja (ilmu bahagia). Berangkat dari pemikiran yang kini telah banyak dibukukan tersebut, ia kerap berkeliling dengan memberikan ceramah di berbagai tempat.

Ki Ageng Suryomentaram saat bertemu dengan Presiden Sukarno [sumber gambar]
Meski mengasingkan diri, Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang juga menjalani kehidupan seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra. Masing-masing dari mereka, memiliki tugas sesuai spesaliasinya masing-masing. Seperti Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa. Laman tirto.id menuliskan, Suryoentaram pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Merdeka Jakarta pada 1957. Saat pertemuan itu, Bung Karno meminta nasihat dalam mengelola negara kepada dirinya.

BACA JUGA: Walau Kaya Raya, 5 Pejabat Indonesia Ini Tetap Hidup Sederhana

Menjalani kehidupan sebagai putra raja atau rakyat jelata, sejatinya merupakan pilihan dari masing-masing individu. Sama seperti Ki Ageng Suryomentaram di atas, menjadi sosok sederhana ternyata juga bisa dilakukan oleh kaum ningrat seperti dirinya. Hal ini bisa kita tiru sebagai teladan, bahwa kemewahan bukanlah menjadi alat untuk meraih kebahagiaan yang sejati. Sebaliknya, kesederhanaan yang diraih lewat keselarasan hidup, bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan batin seperti kisah Ki Ageng Suryomentaram di atas.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

4 Hal yang Bikin Super Junior Betah dan Menganggap Indonesia sebagai Rumah Kedua

Ada Orang yang Hobi Mencuri Pakaian Dalam, Apa Sih Penyebabnya?