Olahraga

5 Kebijakan ‘Unik’ Sepak Bola yang Hanya Ada di Liga Indonesia

Beberapa hari ini pencinta sepak bola nasional digegerkan dengan diangkatnya Joko Driyono menduduki posisi puncak di PSSI. Kebijakan diambil setelah pimpinan sebelumnya Edy Rahmyadi mengambil cuti untuk mengikuti pilkada. Hal ini dilakukan berdasarkan keinginan mantan TNI tersebut, yang tidak ingin mencampurkan urusan bola dengan politik.

Cuti yang diambil pimpinan PSSI ini menjadi daftar panjang kebijakan kontroversi yang pernah dibuat. Sebelumnya ada kasus Nurdin Halid, yang tidak mau lengser dari jabatan ketua meski tersangkut kasus korupsi. Tidak hanya itu pelarangan pemain Indonesia di luar negeri juga menambah deretan keputusan buruk yang pernah dibuat. Beberapa kejadian ini, tentu merupakan sebagian kecil saja sikap kontroversi PSSI pernah ada. Lalu seperti apa yang lain? Simak ulasannya berikut.

Pembatasan umur pemain pada jenjang liga profesional Indonesia

Pemain di atas 35 [Sumber gambar]
Membunuh karir! Menjadi kata yang tepat untuk kebijakan PSSI satu ini. Pada keputusan yang dikeluarkan pada tahun 2017 tersebut, induk organisasi sepak bola membatasi pemain Indonesia yang berumur di atas 35 untuk bermain di liga 1. Klub hanya diperkenankan menggunakan dua pemain saja pada usia tersebut. Lebih parah lagi untuk liga kasta kedua yang harus berisikan squad U-25 apabila di atasnya hanya diperbolehkan menggunakan lima pemain saja. Pembatasan ini menjadi momok yang kejam untuk pemain yang terkena regulasi. Karena banyak yang mengantungkan hidupnya di olahraga ini harus mencari tim mau menerimanya.

Mengikut sertakan umur u-23 pada setiap klub kontestan liga sepak bola

Pemain U-23 [Sumber gambar]
Melanjutkan pembatasan umur tadi pada kebijakan yang dikeluarkan pada tahun yang sama ini. PSSI membuat regulasi untuk setiap tim mempunyai lima pemain U-23. Bertujuan menjaring pemain digunakan yang akan digunakan untuk SEA Games. Apabila dilihat sekilas dapat memberikan regenerasi yang baik untuk timnas. Namun, lebih jauh dari itu pemain tidak akan mendapatkan persaingan untuk mencapai tim senior. Hal itu akan berdampak pada kualitas pemain dan kompetisi seperti diungkapkan oleh Bambang Nurdiansyah kepada Forum Diskusi Bola.

Adanya Marquee Player hanya untuk menambahkan pemain asing di klub

Marquee Player [Sumber gambar]
Fenomena baru paling mengagetkan pada sepak bola Indonesia adalah adanya Marquee Player. Sebuah kejadian yang tergolong baru di era zaman sekarang. Saat itu untuk menjadikan liga Indonesia lebih semarak kontestan diperbolehkan menggunakan lebih tiga pemain asing. Asalkan ada pespakbola dengan status Marquee Player. Kebijakan ini menjadi bomerang karena hanya klub yang kaya dapat menggunakan pemain tersebut. Selain itu semakin mempersempit peluang pemain muda untuk tampil karena ada pasti empat pemain asing di dalam klub. Contoh pemain Marquee Player adalah Michael Essien, Carton Cole dan Juan Pablo Pino (Arema).

Pemerataan itu, membuat negara hanya dapat mengambil dua pemain dari klub

Pemain Timnas [Sumber gambar]
Layaknya Marquee Player tadi kebijakan satu ini dinilai sebagai hal yang unik. Pada umumnya, banyak negara di luar Indonesia memberikan peluang seluas-luasnya untuk pemain bisa bermain di timnas. Namun, ini terbalik 360 drajat karena timnas hanya diperbolehkan mengambil dua pemain saja pada setiap klub. Regulasi yang tentu akan membuat performa tim nasional kita akan menurun kuwalitasnya. Seperti yang diungkapkan oleh Budi Sudarsono “ Kesempatan pemain untuk bersaing pun menjadi sangat terbatas”. Dalam olahraga setiap persaingan berdampak kepada peningkatan performa pada atlet.

Naturalisasi pemain di tengah talenta pemain Indonesia membludak

Pemain Naturalisasi [Sumber gambar]
Kebijakan penuh kontroversi lain dilakukan PSSI adalah Naturalisasi. Pengambilan bakat dengan membuat pemain asing memiliki kewarganegaraan Indonesia ini memang aneh. Di tengah membludaknya pemain pontesial di negara kita, PSSI seakan tutup mata hanya mengejar hasil instan. Apabila kita melihat jauh ke belakang prestasi Indonesia diperoleh oleh pemain lokal. Seperti Ramang, Rony Patinasarani, Widodo CP, Boaz Salossa sampai terbaru Egy Maulana Fikri merupakan contoh nyata. Dari hal tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan pontesi pemain milik negara kita sendiri yang kehebatannya tidak kalah dengan pemain naturalisasi.

Setiap kebijakan yang dikeluarkan tentu bertujuan baik untuk mengembangkan sepak bola kita. Namun, meskipun memiliki tujuan positif harusnya tetap dikaji dan diteliti ulang sebelum di laksanakan. Karena selalu memiliki dampak yang dapat malah merusak persepakbolaan tanah air. Sesunguhnya dalam sepak bola selalu mengedepankan proses untuk meraih kejanyaan. Hasil instan akan menyenangkan di depan tapi menghancurkan sisi lain.

Share
Published by
Galih

Recent Posts

Skandal Sister Hong, Pura-pura Jadi Wanita Demi Perdayai Kaum Pria dan Harta

Sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat Negeri Tirai Bambu, China, seorang pria yang ditangkap gara-gara menyamar…

3 days ago

Bruce Willis Demensia, Tak Ingat Dirinya Aktor Dunia

Bagi aktor kelas dunia, Bruce Willis, dunia terus berputar dan waktu akan terus berjalan. Umur…

4 days ago

Dijuluki ‘Thomas Alva Edisound,’ Inikah Sang Penemu Sound Horeg?

Di balik fenomena dan polemik Sound Horeg yang menggemakan Indonesia, muncul sosok yang kini ramai…

5 days ago

Tom Lembong Siap Banding, Tak Mau Dianggap Penjarah Negara

Babak baru perjuangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam menghadapi putusan majelis hakim dalam…

5 days ago

Fenomena Joki Strava, Jasa Lari bagi yang Ingin Mengais Validasi?

Di media sosialnya setiap minggu selalu pamer mampu lari 5 kilometer, tapi saat di kantor…

1 week ago

Sabarnya Damkar, Laporan Minta Bantuan Hadapi Ular Gaib pun Didengar

Satuan Pemadam Kebakaran (Damkar) bagaikan pelita di dalam kegelapan. Selalu yang terdepan dalam mendengarkan dan…

2 weeks ago