Musibah gempa bumi yang berujung dengan tsunami di Palu dan Donggala beberapa waktu silam, banyak menyisakan sejumlah peristiwa miris. Selain penjarahan dan sejumlah kegiatan kriminal lainnya, hal yang paling disorot belakangan ini adalah detektor tsunami yang tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Tak urung, Presiden Jokowi pun angkat suara mengomentari hal tersebut. Dilansir dari nasional.kompas.com, kepala negara ke-7 itu menghimbau masyarakat agar tak mengambil atau merusak Detektor Tsunami yang dipasang di beberapa titik laut. Sayang, peringatan itu disampaikan setelah ribuan liter air laut datang menerjang kota Palu dan sekitarnya. Korban pun berjatuhan tak lama kemudian. Sebenarnya, apa sih Alat Detektor Tsunami itu?
Dilansir dari kumparan.com, keberadaan tsunami sejatinya bisa dideteksi melalui sistem bernama Tsunami Early Warning System (TEWS) yang diberi nama buoy tsunami. Nantinya, alat ini akan meneruskan laporan dari perangkat Ocean Bottom Unit atau OBU yang diletakkan di dasar laut.
Begitu pentingnya keberadaan pendeteksi tsunami di Indonesia, sejumlah negara pun menghibahkan detektor milik mereka kepada pemerintah RI. Di antaranya adalah Jerman dan Amerika Serikat. Merujuk dari Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Wistchel, 10 unit pendeteksi telah diberikan oleh pemerintahan mereka. Sepaket dengan German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS) dengan harga Rp 610 miliar.
Banyak yang menyayangkan karena alat pendeteksi yang bernilai ratusan miliar itu tak berfungsi sebagaimana mestinya. Selain karena telah lama rusak karena aksi vandalisme dan pencurian, pemerintah Indonesia ternyata tak memilliki cukup anggaran dana untuk merawat alat tersebut.
Sebagai penanggung jawab, Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT sempat membuat perhitungan biaya terkait pengadaan buoy tsunami. Dilansir dari tempo.co, dibutuhkan dana sebesar Rp 20 miliar untuk pemasangan empat unit alat yang terdiri dari buatan dalam dan luar negeri masing berjumlah dua buah. Rinciannya, Rp 4 miliar untuk per unit buoy milik BPPT dan pembelian alat impor sebesar Rp 6 miliar. Sementara itu, biaya pemasangan dan lainnya juga tak kalah mahal.
Mahalnya biaya pengadaan sekaligus perawatan buoy tsunami, membuat Indonesia harus berpikir kreatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dilansir dari tempo.co, peneliti di BPPT bersama lima institusi atau lembaga lain tengah merintis pengembangan buoy pendeteksi tsunami jenis lain, yakni cable based tsunameter (CBT).
Memang, langkah pemerintah membuat alat buoy mandiri patut diapresiasi. Namun, alangkah baiknya jika hal itu diikuti dengan konsistensi dalam perawatan dan kontrol yang ketat, agar peristiwa sebelum-sebelumnya tak terulang kembali. Tak lupa, instansi terkait juga bisa memberikan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya alat tersebut bagi keselamatan mereka. Bukan apa-apa, hal ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling memiliki dan bertanggung jawab terhadap fasilitas pemberian pemerintah. Gimana menurutmu Sahabat Boombastis?
Namanya juga penipu. Akan selalu ada cara untuk membuat korbannya tidak berkutik demi merampas harta…
Sunmori atau Sunday Morning Ride adalah salah satu hobi masyarakat Indonesia. Para pemilik kendaraan roda…
Makan Bergizi Gratis (MBG) nampaknya harus secepatnya melakukan penyempurnaan. Pasalnya, masih banyak ditemui beragam kasus…
Paus Fransiskus tutup usia pada hari Senin 21 April 2025. Berita yang cukup mengagetkan mengingat…
Sudah bukan rahasianya Donald Trump saja, seluruh dunia juga tahu kalau umat manusia sedang terancam…
Kasus pelecehan pasien yang melibatkan dokter saat ini marak menjadi buah bibir masyarakat. Kejadiannya nyaris…