in

Peunayong, Kampung Cina di Aceh yang Jadi Bukti Toleransi Antara Etnis Pribumi dan Tionghoa

Indonesia seolah menjadi contoh, bagaimana sebuah perbedaan bisa bersatu dalam kerukunan yang banyak dikagumi oleh negara lain. Meski akhir-akhir ini sering terjadi gesekan antar etnis, namun kebersamaan dalam keberagaman tersebut seolah masih tetap utuh terjaga. Tak pelak, hal tersebut seolah mengokohkan Pancasila sebagai pondasi negara ini.

Bicara soal kerukunan antar etnis, hal ini bisa ditemukan di kampung cina, Peunayong. Jika ditilik dari namanya, kampung ini terletak di Kota Serambi Mekkah atau Banda Aceh. Kerukunan yang terjalin selama ratusan tahun silam, banyak menyiratkan beragam hal, mulai dari perpaduan budaya, toleransi antar agama hingga, beragam kesenian yang unik. Untuk lebih jelasnya, simak ulasan berikut.

Asal muasal nama Peunayong

Nama Peunayong sendiri mempunyai makna yang sangat spesial. Berasal dari kalimat ” Peu Payong” yang mempunyai arti memayungi, melindungi dan mengayomi. Konon, nama ini diambil karena wilayah tersebut sering digunakan oleh Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan sekaligus jamuan bagi tamu kerajaan. Mereka yang berasal dari wilayah Tiongkok dan Eropa, merasa sanagt nyaman dan aman di tempat tersebut.

Pemandangan masa lalu Kampung Peunayong [image source]
Warga etnis Tionghoa yang mendiami tempat tersebut, merupakan generasi keturunan ke-4 dan ke-5, dari [ara sesepuh mereka yang datang pada abad ke-19. Etnis mereka banyak yang merupakan suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Saat itu, mereka belum bercampur dengan orang Tionghoa dari suku lainnya seperti Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.

Toleransi yang terjalin ratusan tahun silam

Berdasarkan fakta sejarah yang ada, hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat Aceh telah terjalin sejak abad ke-17 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, etnis Tionghoa yang datang dari Tiongkok tersebut, berprofesi sebagai pedagang musiman maupun permanen.

Tolernasi yang terjalin sejak dahulu [image source]
Para pedagang tersebut membangun rumah tinggal yang berdekatan satu dengan lainnya. Selain itu, tempat dimana mereka sering bertransaksi dalam perdagangan dan menurunkan barang sebelum didistribusikan, disebut sebagai Peunayong. Nama tersebut tetap abadi digunakan hingga saat ini sebagai identitas dari wilayah tersebut.

Kerukunan antar agama yang awet hingga kini

Meski Banda Aceh merupakan Provinsi yang dihuni mayoritas umat Muslim, syariat Islam yang diterapkan di bumi Serambi Mekkah tersebut, justru membuat nyaman komunitas non muslim lainnya merasa nyaman. Mereka bebas menjalankan aktivitas ibadahnya dengan tenang. Selain terjamin, Mereka juga berbaur dalam kehidupan sosial, tanpa turut campur dalam kegiatan spiritualnya.

Kerukunan antar umat beragama [image source]
Berdasarkan data sensus penduduk yang dikeluarkan pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik memberikan keterangan sebagai berikut. Sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Sedangkan pemeluk Kristen berjumlah 50.309 jiwa, Katolik 3.315 jiwa, Buddha 7.062 jiwa, Hindu 136 jiwa, dan Konghucu 36 jiwa. Saat bulan Ramadhan tiba, banyak dari etnis Tionghoa menjajakan makanan khas Bulan Ramadhan. Begitupun sebaliknya, umat nonmuslim juga bebas merayakan hari besar mereka.

Situs sejarah yang menjadi warisan budaya

Kampung pecinan Peunayong, juga disebut-sebut sebagai China Town-nya di kawasan Banda Aceh, serupa dengan China Town yang ada di berbagai negara dunia. Selain itu, Kota Tua ini juga merupakan warisan budaya yang didalamnya banyak menyimpan bangunan-bangunan bersejarah. Pasar tradisional, toko obat, toko kain hingga kedai kopi, merupakan bangunan lama yang menjadi saksi bisu hiruk pikuk Peunayong di masa lampau.

Ruko khas gaya Tiongkok di Peunayon [image source]
Salah satu peninggalan yang mempunyai nilai sejarah adalah bangunan ruko yang dulunya digunakan untun berdagang. Di pasar Peunayong sendiri, terdapat deretan bangunan ruko berarsitektur Tiongkok yang bisa dikenali dengan ciri atapnya menggunakan desain melengkung dan bertipe pelana atau Gable Roof. Bangunan tersebut biasanya dihias dengan ornamen bergambar naga yang sedang menggulung awan.

Peunayong yang jadi kampung wisata kuliner

Tak hanya latar belakang sejarahnya yang memukau, Kampung pecinan Peunayong juga dikenal sebagai destinasi wisata kuliner yang menwarkan banyak pengalamn seru didalamnya. Salah satunya adalah REX, sebuah pusat kuliner yang aktifitasnya senantiasa berdenyut setiap malam. Di kawasan yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda ini, wisatawan bisa berburu aneka kuliner unik dan lezat.

Jadi tujuan wisata kuliner [image source]
Menu andalan di kawasan tersebut adalah sate dan kerang rebus saos nenas. Tak hanya itu, sajian kuliner seperti mie Razali dengan variannya seperti mie mie campur telur, seafood yang berisi udang, kepiting hingga daging, sangat menggoda untuk dicoba. Ada juga nasi goreng Aceh di Daus dengan menu andalannya Nasi Goreng Kambing Muda yang mampu menggoyang lidah.

Tak salah jika menyebut Peunayong sebagai kampung pecinan yang menjadi contoh nyata kerukukunan hidup antar etnis lintas agama. Selain itu, nilai historis dari warisan peradaban di masa silam, seakan menjadi pelengkap bagi kampung yang juga merupakan tonggak kebangkitan bagi kesadaran untuk menghargai setiap perbedaan. Dari kampung ini pula, kita bisa belajar banyak. Bagaimana sebuah kebersamaan bisa berdiri tegak atas nama kemanusiaan tanpa melibatkan golongan dan kepercayaan masing-masing.

 

 

 

 

 

 

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

7 Makanan Ini Dilarang Keras Disantap Waktu Imlek, Awas Mengundang Sial!

11 Meme Imlek yang Akan Bikin Kamu Ngakak Walaupun Nggak Kebagian Angpao