Bukan rahasia lagi jika saat ini dunia maya menjadi ladang yang subur untuk memunculkan benih-benih perpecahan antara anak bangsa. Seperti halnya medan perang, tempat tersebut kerap dijadikan oleh banyak netizen untuk melemparkan mortir-mortir perpecahan berupa statemen provokatif. Bagi mereka yang tergolong sumbu pendek ya akan cepat panas dan terpancing. Kejadian ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi pada 43 tahun lalu, tepatnya kala peristiwa G30S/PKI.
Di jaman itu putra dan putri bangsa saling bunuh satu sama lain. Membuat bangsa ini tak ubahnya Perang Balkan di Eropa yang menyajikan perseteruan antar saudara. Peristiwa G30S/PKI juga meninggalkan banyak tanda tanya yang hingga kini belum terpecahkan. Berkaca dari sejarah masa lalu, beberapa waktu belakangan Boombastis melakukan riset serta menemui nara sumber terkait mengenai permasalahan ini dan menghubungkannya dengan keadaan sekarang. Mari bersama-sama merenungkannya dari untaian peristiwa di masa lalu.
Memandang Peristiwa 1965 dengan pendekatan ilmu sejarah
Sebagai sebuah ilmu yang berkembang di dunia pendidikan, pendekatan sejarah dalam memandang peristiwa G30S/PKI bisa dibilang memiliki cara tersendiri. Jika banyak kalangan membahas insiden ’65 dengan merujuk langsung pada kejadian, tinjauan sejarah lebih mengacu ke arah hukum kausalitas atau sebab akibat dan benang merah terjadinya sebuah peristiwa.
“Jika sebelum 30 September yang aktif adalah PKI yang membunuh, sedangkan setelah 1965 giliran mereka yang dibunuh,” ungkapnya.
Kepentingan asing lekat hubungannya dengan peristiwa 1965
Selain menjadi bentuk perang saudara, menurut Pak Najib yang dulu juga merupakan lulusan Universitas Indonesia ini, kejadian tersebut juga memiliki sangkut paut dengan kepentingan asing. Beliau merujuk teori insionalitas milik Prof. Hariono M.Pd, yang mengutarakan kalau peristiwa berdarah di tahun 65 tidak bisa dilepaskan dari konteks global (kepentingan asing).
Perang saudara Indonesia kini dan dahulu
Bukan rahasia lagi meski sudah berlalu 43 tahun yang lalu, peristiwa satu ini tetap saja menimbulkan polemik berupa pertanyaan mengenai kebenarannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya versi yang mengupas insiden 1965 ini. Namun di balik itu semua, hal yang patut kita cermati adalah bagaimana perang saudara tersebut kini seperti muncul kembali kini dengan bentuk berbeda.
Tak hanya di jagad maya, baru-baru ini virus perang saudara juga muncul di dunia olahraga. Atas nama kecintaan pada klub bola tertentu, menganggap fans dari klub rival adalah musuh yang harus dihabisi. Layaknya hilang kemanusiaannya, tangan mereka begitu enteng menghilangkan nyawa seseorang yang sebenarnya satu tanah air, satu tumpah darah.
Bila kasus meninggalnya Haringga Sirila kemarin berpatokan pada perbedaan ‘warna’, tentu hal tersebut tak ubahnya perang saudara yang terjadi ketika tahun 1965. Ketika itu menghilangkan nyawa orang sama mudahnya dengan meniup kapas yang jatuh dari pohon.
Pertikaian antar saudara artinya tidak belajar dari sejarah
Runtuhnya kerajaan-kerajaan nusantara akibat politik adu domba Belanda sebenarnya sudah menjadi sedikit gambaran bahwasanya perang saudara hanya torehkan kisah nahas saja. Kendati bahayanya nyata, namun agaknya hal tersebut tidak begitu disadari oleh banyak orang di negeri ini. Situasi itu terulang lagi di 1965. Dan kini. apakah kita mau berada dalam pertikaian yang sama? Tidakkah kita belajar dari apa yang sudah terjadi pada pendahulu dan hampir melumat nasib bangsa kita?
Berkaca dari ulasan tadi memang segala hal yang mengenai perang saudara tidak akan membuahkan kemenangan atau hasil yang bermakna. Maka dari itu sebagai negara yang merdeka lantaran persatuan, sadari situasi ini. Janganlah dengki pada ideologi jadi alasan untuk menjadikan musuh pada saudara sendiri.
Kendati bukan perkara mudah, namun dengan kita bisa memupuk rasa menghargai perbedaan yang memang sudah jadi konstruksi pembentuk bangsa ini, maka jalan menuju hal tersebut amatlah terbuka lebar. Mari kita belajar dari masa lalu. Mari merawat sejarah, tanpa perlu lagi pertumpahan darah.