Jika dibandingkan dengan pembantaian Yahudi oleh Nazi atau mungkin tragedi Nanking oleh Jepang, pembantaian Rwanda jelas kalah pamor. Mungkin kamu bahkan baru mengetahuinya sekarang. Padahal tragedi satu itu juga tak kalah mengerikan. Dari sisi korban dan juga tentang bengisnya para jagal, semua ini bahkan kita bisa bilang jauh lebih ngeri dari pembantaian mana pun.
Tragedi ini sendiri bukan pembantaian biasa, melainkan sebuah genosida atau pemusnahan ras. Ada dua suku yang bertempat tinggal di Rwanda kala itu, yakni Hutu dan Tutsi. Keduanya hidup berdampingan dengan damai pada awalnya. Hingga akhirnya lantaran perbedaan strata sosial dan juga pengaruh politik yang timpang akhirnya mulai muncul benih-benih kebencian. Dari sini kemudian berlanjut ke babak pembantaian Tutsi oleh Hutu yang sangat mengerikan.
Lebih dalam lagi, berikut adalah fakta-fakta dari pembantaian kejam itu.
Hutu adalah ras dominan di Rwanda, jumlahnya sendiri diperkirakan hampir 85 persen pada awalnya. Sedangkan ras Tutsi jauh lebih sedikit dengan jumlah sekitar 15 persen saja. Meskipun dominan, namun pada realitanya, Tutsi adalah pihak yang lebih berpengaruh. Secara strata sosial mereka lebih tinggi. Misalnya, orang Tutsi kebanyakan adalah pemilik ternak sedangkan Hulu hanyalah para pekerja rendah.
Ketidakseimbangan terjadi, Hutu kemudian melakukan pergerakan sosial dan akhirnya berbuah manis. Jumlah mereka yang banyak menguasai semua hal. Termasuk pemilu yang akhirnya dimenangkan oleh perwakilan Hulu. Tutsi sendiri mulai terancam saat itu. Belum memasuki era pembantaian, sudah beberapa kali ditemui orang-orang Hulu membunuh orang Tutsi.
Setelah kejadian tewasnya presiden terpilih, serta ada propaganda dari pihak-pihak tertentu yang mengatakan Tutsi harus lenyap, kemudian pergerakan perburuan korban meluas. Para jagal ini masuk ke rumah-rumah dan membantai semua orang yang ada di dalamnya. Di jalan-jalan pun sama, orang-orang yang dicurigai dibunuh begitu saja lalu mayatnya ditutupi daun pisang.
Ya, tidak hanya terjadi pembantaian, tragedi genosida ini juga dibumbui aksi pemerkosaan gila-gilaan. Tidak ada data jumlah pasti korbannya, namun yang jelas ribuan wanita diperlakukan secara keji dalam tragedi ini. Bahkan anak-anak gadis usia 12an tahun pun turut jadi korban. Makin ngeri lagi, dalam kejadian itu sekitar 68 persen wanitanya terinfeksi HIV.
Hal yang patut disayangkan dalam tragedi ini adalah sikap cuci tangan dunia, termasuk PBB. Diketahui, saat kejadian buruk ini terjadi, ada pasukan perdamaian di sana. Alih-alih menyelamatkan para korban, pasukan perdamaian ini hanya fokus menyelamatkan orang-orang asing yang terjebak saja.
Pembantaian ini meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi orang-orang Rwanda yang beruntung bisa hidup sampai sekarang. Proses pengadilan pada para tersangka juga masih dilakukan hingga sekarang, namun belum benar-benar bisa maksimal. Untuk mengenang tragedi ngeri itu, kita bisa melihatnya dalam banyak monumen di negara itu. Termasuk sebuah rumah tempat pembantaian yang sengaja dibiarkan apa adanya sebagai bukti.
Namanya juga penipu. Akan selalu ada cara untuk membuat korbannya tidak berkutik demi merampas harta…
Sunmori atau Sunday Morning Ride adalah salah satu hobi masyarakat Indonesia. Para pemilik kendaraan roda…
Makan Bergizi Gratis (MBG) nampaknya harus secepatnya melakukan penyempurnaan. Pasalnya, masih banyak ditemui beragam kasus…
Paus Fransiskus tutup usia pada hari Senin 21 April 2025. Berita yang cukup mengagetkan mengingat…
Sudah bukan rahasianya Donald Trump saja, seluruh dunia juga tahu kalau umat manusia sedang terancam…
Kasus pelecehan pasien yang melibatkan dokter saat ini marak menjadi buah bibir masyarakat. Kejadiannya nyaris…