“Saya tidak akan bermain untuk Jerman di tingkat internasional selama mendapatkan perlakuan rasisme dan tidak hormat”. Kira-kira semacam itulah pernyataan yang dikeluarkan Mezut Ozil setelah undur diri dari tim De Panzer beberapa hari lalu. Kondisi yang sebenarnya juga mempertegas apabila tidak semua darah imigran mendapatkan perilaku baik di negara barunya. Padahal apabila dilihat riwayatnya berkat bantuan Ozil lah Timnas Jerman mampu jadi juara Piala Dunia 2014.
Apa yang dialami pemain Arsenal ini adalah contoh kecil bagaimana tidak enaknya bermain di Timnas yang bukan tanah leluhurnya. Namun dibalik serangkai kecaman yang kerap hinggap, banyak juga yang pada akhirnya malah jadi pahlawan negara di ajang-ajang kompetisi sepak bola dunia. Siapa sajakah mereka? Yuk mari simak ulasan boombastis berikut ini, sobatku!
Kerap tidak dihargai, Romelu Lukaku adalah top skor sepanjang masa Belgia
Sebagai seorang penyerang berdarah imigran di tubuh Timnas Belgia, Romelu Lukaku pastinya bukan striker kacangan atau bisa dipandang remeh. Kendati masih berumur 25 tahun, namun Lukaku kini adalah top skor sepanjang masa Belgia dengan torehan 36 golnya. Bahkan di Piala Dunia 2018 dirinya berhasil membawa negara barunya tersebut menjadi juara ketiga.
Zlatan Ibrahimovic, pemain besar Swedia yang kerap dilupakan saat kalah
Nasib dihujat saat kalah, juga menimpa pemain besar di sepak bola Swedia yakni Zlatan Ibrahimovic. Dilansir laman Tirto saat diwawancarai Fernch Canal Plus bulan Januari 2018 lalu, mantan pemain Manchester United ini mengatakan kerap diberitakan tidak berimbang. Darah Imigran dari keluarganya yang orang Bosnia dan Kroasia juga membuatnya kerap mendapatkan serangan.
Dianggap tidak nasionalis, Zidane malah buat Perancis rasakan gelar Piala Dunia
Siapa yang menyangka, sebelum Perancis mampu menjadi juara Piala Dunia 1998, para pemainnya kerap mendapatkan cibiran tidak nasionalis. Hal ini terjadi lantaran para punggawa Les Blues yang berisikan darah imigran kerap kesulitan dalam menyanyikan lagu kebangsaan. Kondisi yang juga menerpa Zidane yang kerap diolok seseorang pria Aljazair.
Mario Balotelli, kerap tersisih rasisme tapi bawa Italia tembus Final Euro 2012
“Tidak ada orang Italia yang berkulit hitam” salah satu kata yang pernah dilontarkan ke Mario Balotelli. Tindakan rasisme terus berkumandang kala ia berlaga bersama Italia atau klub di kompetisi benua biru. Malangnya nasib Balotelli sudah dirasakan sejak usia muda kala membela Gli Azzurri usia 21 hingga sekarang.
Melihat beberapa hal ini dapat disimpulkan apabila menjadi seorang imigran di benua biru tidaklah selalu enak. Selain kecaman mereka juga sangat dekat sebuah tindakan kejam bernama rasisme. Lewat hal ini kita juga bisa ambil kesimpulan apabila Indonesia lebih baik dari negara-negara tadi dalam menghargai pemain asal luar negerinya.