in

Mengenal Kopino, Anak-Anak Hasil Hubungan Gelap Orang Filipina-Korea yang Hidupnya Nestapa

Wisata pelacuran adalah rahasia umum. Tabu untuk dibicarakan, namun faktanya ada di mana-mana. Ya, yang semacam ini memang bisa ditemukan di mana pun. Bahkan di beberapa negara, memang disediakan khusus dengan pengawasan pemerintah. Negeri sebelah, Filipina, pun demikian pula. Bahkan wisata esek-esek di sana lumayan laris dan diburu oleh para pria dari seluruh dunia.

Prostitusi di Filipina ini cukup marak memang tapi memberikan dampak yang lumayan memiriskan hati. Salah satunya adalah eksisnya Kopino yang nasibnya tak pernah baik sampai hari ini. Kopino sendiri adalah sebutan bagi anak-anak yang lahir lantaran prostitusi. Secara spesifik, sebutan Kopino disematkan kepada mereka yang ayahnya berasal dari Korea. Kopino sendiri asal katanya adalah Korea dan Filipina.

Diketahui Filipina banyak dikunjungi orang Korea Selatan. Biasanya para pria Korsel ini mampir pula ke daerah-daerah prostitusi. Dari aktivitas itu kemudian lahirlah anak-anak Kopino. Mirisnya, banyak anak-anak hasil bisnis esek-esek ini yang tak diakui bapaknya. Beberapa bertanggung jawab, tapi mayoritas tidak. Bahkan ada anak Kopino yang sampai dewasa tak pernah tahu siapa ayahnya.

Berjumlah Puluhan Ribu

Kopino membentuk komunitas sendiri [Image Source]
Siapa yang mengira jika 30.000 dari seratus juta jiwa penduduk Filipina adalah anak-anak hasil hubungan gelap antara pekerja seks komersial dan wisatawan. Faktanya, sensus terbaru mengatakan bahwa jumlah Kopino membludak hingga 200% dari tahun 2008 yang mencatat hanya ada 10.000 kopino. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah warga Korea Selatan yang mengunjungi Filipina meningkat hingga empat kali lipat dalam waktu sepuluh tahun. Tujuannya bisa bersekolah, bekerja, ataupun sekedar berwisata.

Hidup dalam Kemiskinan

Kopino dalam rumah penampungan [Image Source]
Anak-anak Kopino tidak hidup dalam gemerlap harta karena sang ibu rata-rata tidak berpunya dan tak semua ayah mereka mau bertanggung jawab. Memang masih ada pria-pria bertanggung jawab yang mengirim uang, tapi sebagian besar menghilang begitu saja. Selain itu, anak-anak Kopino juga kesulitan menempuh pendidikan karena sekolah-sekolah di Filipina karena memiliki ayah merupakan syarat untuk dapat masuk sekolah. Ini membuat Kopino terjerat dalam lingkaran setan. Pada akhirnya, beberapa dari mereka bekerja sebagai prostitusi atau kriminal.

Menolak Pengaman dan Aborsi

Seorang Kopino mencari ayahnya [Image Source]
Kelahiran Kopino sebetulnya bisa dicegah. Bisa dengan tidak mengunjungi wisata pelacuran sama sekali, menggunakan pengaman, ataupun dengan melakukan aborsi. Tapi ketiga poin tersebut tidak bisa dilakukan karena nafsu, keras kepala, dan kepercayaan. Bagi sebagian orang, berwisata tidak akan lengkap tanpa berkunjung ke lokalisasi. Kita juga tahu ada beberapa orang yang tidak suka menggunakan kondom meski mereka tahu risiko yang akan dihadapi. Bagi para perempuan yang terlanjur hamil, agama mereka melarang aborsi sehingga hal tersebut tak bisa dilakukan. Hingga pada akhirnya, lahirlah anak-anak tak berbapak.

Diskriminasi

Seorang Kopino bertemu dengan ayahnya [Image Source]
Anak-anak berdarah campuran biasanya mengalami diskriminasi karena identitas mereka. Terlahir bukan dari pernikahan yang sah pun tidak membantu mereka. Prasangka dan diskriminasi terus dialami Kopino baik itu dari warga Korea Selatan maupun Filipina.

Memperjuangkan Hak Mereka

Son Bum Sik mengabdikan diri untuk membantu Kopino [Image Source]
Pada tahun 2004, Son Bum Sik, seorang aktivis dari Korea Selatan yang kuliah di Filipina melihat Kopino sebagai permasalahan yang cukup besar. Ia pun mendirikan yayasan Kopino Association untuk membantu anak-anak tersebut mencari ayah mereka. Ia juga membantu Kopino mendapatkan kesejahteraan dan segala hak mereka sebagai anak-anak seperti mendirikan rumah untuk menampung sebagian dari mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, memberi fasilitas penitipan anak bagi ibu-ibu yang bekerja, hingga mendirikan sekolah.

Selain Kopino, Filipina juga menghadapi isu serupa dengan Amerasian, Japino, dan Chipino/Sinopino. Pemerintah Jepang telah memberikan bantuan pada Japino berupa uang tunai untuk biaya hidup dan pendidikan. Meskipun masalah finansial terselesaikan, akan lebih baik jika ada pengakuan dari sang ayah. Ke depannya, kita tunggu bagaimana sikap pemerintah Korea Selatan dalam menanggapi isu ini. Apakah mereka akan melakukan kebijakan seperti pemerintah Jepang ataukah membiarkannya?

Written by Aisyah Putri

Leave a Reply

5 Metode Brutal Ini Digunakan untuk Menginterogasi Tahanan Kelas Kakap di Penjara Militer

Mengenal Malahayati, Sosok Garang yang Jadi Laksamana Laut Wanita Pertama di Dunia