in

Mosehe Wonua, Tradisi Tolak Bala Kuno dari Sulawesi Tenggara yang Berusia 600 Tahun

Mosehe Wonua

Tradisi tolak bala ada di banyak suku dan daerah di Indonesia. Masyarakat di Jawa melakukan tolak bala dengan melaksanakan bersih desa atau ruwatan massal. Cara yang cukup berbeda dilakukan oleh masyarakat di Kalimantan bagian Selatan. Untuk menolak bela mereka melakukan ritual dengan melakukan upacara yang diikuti dengan cara mandi dan menyucikan tubuh.

Selain di Jawa dan Kalimantan, tradisi tolak bala yang cukup unik juga dilaksanakan di kawasan Sulawesi Tenggara. Salah satu suku yang mendiami kawasan itu melaksanakan upacara penyucian kampung dengan melaksanakan Mosehe Wonua yang sangat meriah. Mari kita intip seperti apa upacara yang konon telah dilakukan sejak abad ke-13 ini.

Sejarah Mosehe Wonua

Mosehe Wonua dilakukan sejak abad ke-13 saat Kerajaan Mekongga masih berjaya di kawasan Sulawesi Tenggara. Tradisi ini terus dipertahankan hingga raja-raja berikutnya yang bertahta dan memimpin masyarakat suku Mekongga yang masih bertahan dan menjadi masyarakat modern.

Sejarah Mosehe Wonua [image source]
Sejarah Mosehe Wonua [image source]
Dahulu kala, tradisi ini dilakukan saat dua kerajaan melakukan peperangan. Untuk menyucikan semua dosa dan juga dendam, raja di Mekongga melakukan upacara Mosehe Wonua ini. Dalam upacara yang dilakukan ratusan tahun lalu ini, Raja Mekongga juga menjodohkan anaknya sehingga permusuhan akhirnya reda. Sejak Mosehe Wonua dilakukan pertama kali, tradisi ini jadi rutin dilakukan untuk menolak bala dan juga mara bahaya.

Maksud Diadakannya Mosehe Wonua

Dalam bahasa suku Mekongga Mosehe memiliki arti melakukan sesuatu yang suci. Mo diartikan melakukan sesuatu dan Sehe memiliki arti suci. Berangkat dari sini, Mosehe Mekonga bertransformasi menjadi sebuah ritual yang diadakan secara rutin untuk menolak bala san menyucikan negeri dari hal-hal yang merugikan semua orang yang ada di dalam kawasan kerajaan Mekongga.

Tarian di Mosehe Wonua [image source]
Tarian di Mosehe Wonua [image source]
Setiap tahun, penduduk suku Mekongga akan mengadakan tradisi yang sangat sakral ini. Bagi mereka, melakukan Mosehe Wonua tidak hanya meminta keberkahan saja. Mereka juga melestarikan tradisi nenek moyang yang akan sangat sayang jika sampai hilang dan akhirnya tidak bisa dilakukan lagi. Apalagi tradisi ini berasal dari kerajaan masa lalu dan telah berusia ratusan tahun.

Masuknya Islam dalam Tradisi Mosehe Wonua

Dari abad ke-13 hingga abad ke-17 awal, tradisi ini dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Seiring dengan berjalannya waktu, terutama saat Islam masuk ke Nusantara dan menyebarkan ajaran mereka di kawasan kerajaan Mekongga. Dari sini, unsur islami juga dimasukkan ke dalam ritual Mosehe Wonua.

Tradisi Mosehe Wonua [image source]
Tradisi Mosehe Wonua [image source]
Ritual penyucian negeri ini akhirnya disisipi doa-doa yang lebih islami. Selebihnya, urutan ritual tidak ada yang berubah seperti melakukan siraman kepada tubuh dari pemimpin atau raja yang dihormati. Saat Kerajaan dari Mekongga sudah tidak ada, masyarakat tetap melakukannya dan mengganti Bupati sebagai orang yang ditinggikan di dalam ritual.

Mosehe Wonua di Era Modern

Di era modern seperti sekarang, Mosehe Wonua tetap dilakukan dan menjadi salah satu agenda besar pemerintah daerah. Saat ini Mosehe Wonua dilakukan di daerah Kolaka dengan Bupati Kolaka beserta wakil menjadi orang yang ditinggikan. Dua pemimpin ini dan istrinya akan disiriam dengan air suci setelah sebelumnya di arah pada area pemakaman raja dari Mekongga.

Mosehe Wonua di era modern [image source]
Mosehe Wonua di era modern [image source]
Tradisi ini berlangsung meriah dan disaksikan oleh banyak orang. Semua mata ingin menyaksikan seperti apa ritual yang sudah sangat tua ini. Masyarakat ingin tahu seperti apa sakralnya upacara yang diikuti dengan acara penyembelihan kerbau putih dan juga melakukan tradisi tari-tarian.

Inilah sedikit ulasan tentang Mosehe Wonua yang sangat sakral dan legendaris. Semoga tradisi yang sangat berharga ini terus dipertahankan agar kekayaan budaya di Indonesia tidak akan pernah habis seiring dengan berjalannya waktu.

Written by Adi Nugroho

Leave a Reply

Menengok Kehidupan di Villa Las Estrellas, Pemukiman Kecil di Kutub Selatan yang Super Dingin

Peristiwa Mangkok Merah, Rasisme Berdarah Anti Tionghoa di Kalimantan yang Penuh Misteri