Sosok Ki Hadjar Dewantara dikenal luas sebagai ikon pendidikan di Indonesia. Sosok kelahiran 2 Mei 1889 di Pakualaman, Yogyakarta itu, ternyata juga merupakan seorang aktivis yang lantang menyuarakan pemikirannya pada pemerintah kolonial Belanda. Dilansir dari tirto.id, Ki Hadjar Dewantara di masa muda adalah aktivis pergerakan nasional yang berpikiran radikal.
Saking radikalnya, ia bahkan kerap berurusan dengan aparat kolonial. Keluar masuk penjara, dikejar-kejar hingga berakhir di pembuangan yang jauh dari tanah kelahirannya. Pendek kata, Ki Hadjar Dewantara yang kala itu disebut sebagai Soewardi Soerjaningrat melakukan perlawanan dengan caranya sendiri yang berkelas dan cerdas.
Catatan satire yang membuat membuat gerah pemerintah kolonial
Lewat catatan panjangnya yang berjudul “Als ik een Nederlander was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda,” yang dimuat oleh Surat kabar De Expres milik Indische Partij (IP) pada edisi 13 Juli 1913, Ki Hadjar Dewantara yang kala itu dikenal sebagai Soewardi Soerjaningrat sukses membuat gerah pemerintah kolonial naik darah.
Niat mulia yang terselip dalam tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda,”
Tak melulu mengkritisi sikap pemerintah kolonial yang semena-mena terhadap jajahannya, tulisan “Als ik een Nederlander was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda,” sejatinya juga menjadi jalan bagi dirinya untuk membuka kesadaran tentang cita-cita kemerdekaan bagi para inlander lainnya yang merasa dan terbuka pikirannya. Bukannya tak berisiko, apa yang dilakukan oleh Soewardi ini mendapat atensi khusus dari pihak kolonial.
Pemuda bernyali tinggi yang keluar masuk penjara dan di buang dari tanah kelahirannya
Resiko berbuat radikal di tengah pemerintah kolonial yang tengah berkuasa pada saat itu pun sampai pada titiknya, di mana Soewardi akhirnya di buang ke negeri Belanda. Tanggal 18 Agustus 1913, seperti dicatat Ahmat Adam dalam Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (2003), yang dikutip dari tirto.id menuliskan, ia dihukum buang bersama dua orang lainnya, yakni Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker, yang kelak membuat mereka disebut sebagai Tiga Serangkai.
Dirikan Taman Siswa sebagai wadah perjuangannya
Lelah menjadi buruan aparat kolonial, Soewardi pun memikirkan strategi yang lebih aman untuk melawan pemerintah kolonial. Terlebih, sang istri yang sempat jatuh sakit karena memikirkan dirinya membuat Soewardi sadar. Tak bisa pakai cara lama, ia pun mencari jalan keluar. Hingga kemudian, berdirilah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Lembaga Pendidikan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Namanya pun juga berganti sebagai Ki Hadjar Dewantara, bukan lagi sosok Soewardi yang dulu. Dari sini, perjuangannya tersusun secara cermat dan sistematis.
BACA JUGA: Cerita Pemuda Asal Madura yang Sempat Mengebom Pasukan Nazi Jerman di Front Eropa
Kiprah Ki Hadjar Dewantara di masa lalu, kelak menjadi bekal bagi perjuangannya ke depan dalam melawan pendudukan Belanda atas Hindia Belanda. Alih-alih dengan cara kekerasan dan militer, ia justru menggunakan keahliannya menulis sebagai tonggak perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Tak heran jika di masa mudanya ia dikenal lantang menyuarakan kebebasan yang dicap radikal oleh musuh-musuhnya.