in

Sebuah Renungan Mudik: Pergi Disyukurin, Lewat Disumpahin, Datang Dinyinyirin

Sudah menjadi kebiasaan setiap akhir ramadan bagi penduduk Indonesia untuk melakukan mudik. Sebuah istilah yang berarti “pulang ke kampung” (Udik berarti desa/kampung). Mengapa seseorang harus “pulang”? Mengapa juga dilakukan pada saat akhir Ramadan? Apakah dalam agama Islam sendiri mengajarkan hal ini?

Ditinjau dari sudut agama, tidak ada satu pun dalil yang mewajibkan atau menganjurkan mudik ini. Berarti kebiasaan mudik adalah sesuatu yang kultural alias budaya. Mudik pun tidak mengenal suku. Anggota suku apapun di Indonesia hampir semuanya melakukan mudik. Bahkan mudik ini sudah menjadi  lintas agama. Tidak hanya muslim saja yang melakukannya.

Mengapa?

Karena kita semua ingin pulang..

Pulang kepada rumah masih kecil. Pulang kepada senyuman rindu ayah bunda yang telah menua. Pulang kepada sahabat masa kanak-kanak. Kita sebenarnya ingin pulang kepada kenangan.

pulang kampung pada kenangan
Pulang pada kenangan [Image Source]
Pertemuan dengan saudara dan handai taulan yang sudah lama tidak berjumpa, mungkin hanyalah sebuah kebahagiaan sampingan. Mungkin yang membuat kita menghabiskan biaya jutaan rupiah untuk bisa mudik, mengorbankan waktu untuk bermacet-macet ria, bahkan mempertaruhkan nyawa di jalan raya, mungkin hanya untuk sebuah kebahagiaan kecil bernama kenangan.

Kenangan dan Ketenangan Mungkin

Meskipun di hari raya cenderung ramai bergembira ria, tidak dapat dipungkiri ada ketenangan tersendiri saat seseorang pulang ke rumah orang tuanya. Di rumah inilah ia dapat melepaskan segala predikatnya sebagai atasan, sebagai pegawai, sebagai buruh, atau sebagai apapun. Di rumah ini pulalah ia kembali menjadi seorang ‘anak’. Di rumah ini pulalah senyuman orang tuanya akan menenangkan hatinya.

bertemu dengan keluarga
Momen bertemu dengan keluarga [Image Source]
Di sini, seseorang dapat melepas diri dari penatnya pekerjaan, dari target penjualan, dari kerasnya persaingan kehidupan. Mungkin inilah alasan awal seseorang harus pulang. Harus mudik. Ia hanya mencari kepingan-kepingan jiwanya yang masih tersimpan di balik kenangan masa kecilnya, setelah sepanjang tahun ia menghabiskan waktu untuk bekerja dan meneruskan kehidupan.

Mudik memang tidak mewakili ramadan. Tidak mewakili Islam. Tidak mewakili Indonesia. Ia hanya mewakili perasaan kita sebagai manusia. Bahwa kita membutuhkan waktu sejenak untuk melepas lelah dan penat. Butuh waktu sejenak untuk mengumpulkan kekuatan. Butuh waktu sejenak untuk sedikit menjadi manusia.

Budaya mudik [Image Source]
Budaya mudik [Image Source]
Karena orang-orang yang mudik ini kebanyakan bukan lah lagi manusia. Mereka telah berubah menjadi mesin. Secara sadar atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus mengakui bahwa kebanyakan mereka yang mudik ini adalah pekerja-pekerja lapisan paling bawah. Para pembantu rumah tangga, para buruh pabrik, para TKW dan TKI.

Mereka-mereka yang ketika mudik meninggalkan kota besar, seperti memberi angin segar bagi kota itu. Sudah berapa banyak komentar yang kita baca tentang “Duh, enaknya kota gue gak maceeeet!”. Atau “Coba kalo Jakarta sepi kayak gini terus!”. Komentar-komentar yang dibuat oleh orang yang lupa bahwa kotanya sendiri tidak akan menjadi kota jika orang-orang yang mudik ini tidak pernah datang ke sana.

Perjuangan orang-orang yang ingin pulang [Image Source]
Perjuangan orang-orang yang ingin pulang [Image Source]
Dan jika makhluk-makhluk yang telah berubah menjadi “mesin” dan “alat” ini pulang ke desa mereka masing-masing, meninggalkan kota yang lengang, dan menimbulkan macet di beberapa tempat dalam perjalanan mereka, banyak pula orang yang mencibir, “duh, ngapain sih mudik? Bikin jalan macet aja!”. Atau “Kenapa sih kalian selalu ngerepoti terus? Hargai hak orang lain untuk pake jalan juga dong!”

Mereka yang mudik ini, yang mempertaruhkan nyawa di jalanan hanya agar sekedar bisa melihat wajah orang tuanya, harus menghadapi cemoohan dari segala arah. Dari kota tempat ia pergi, di tengah jalan dalam perjalanan, dan bahkan ketika sampai di kampungnya pun masih mendapat cemoohan. “Huh, jauh-jauh ke jakarta cuma jadi tukang sapu!”, “Halah, pulang kok nggak bawa apa-apa”. Pergi disyukurin, lewat disumpahin, datang dinyinyirin.

Semua Pemudik Hanya Ingin Pulang

Itulah nasib para pemudik Indonesia di ramadhan yang mulia ini. Itulah riwayat para manusia-manusia jelata yang mengais kehidupan di tanah orang.

Semua pemudik hanya ingin pulang dan pulang bukanlah kata yang sederhana [Image Source]
Semua pemudik hanya ingin pulang dan pulang bukanlah kata yang sederhana [Image Source]
Kita mungkin akan merasa iba, dan kemudian berubah menjadi seorang analis politik dan sosial yang menyalahkan negara kita yang tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan yang baik. Atau upah yang layak. Atau juga membuat pembangunan merata sehingga para penduduk desa tidak perlu lagi ke kota.

Tetapi kita sebenarnya tidak bisa menolak, bahwa mudik bukanlah berarti karena kesenjangan sosial, atau budaya tahunan yang merepotkan. Atau sekedar keinginan untuk saling pamer di kampung masing-masing. Atau karena kurang meratanya pembangunan.

Mudik hanya terjadi karena seseorang ingin pulang. Akhir ramadan mungkin hanya sekedar timing saja, karena dengan begitu semua orang bisa pulang bersama-sama dan berkumpul kembali di saat yang sama. Entah apa status sosialnya, entah berapa banyak uang yang ia punya, entah apa pekerjaannya, entah apa sukunya, entah apa agamanya. Ia hanya ingin pulang. Itu saja.

Dan pulang, bukanlah sebuah kata yang sederhana.

Itu saja.

Written by Norman Duarte

Leave a Reply

Terlihat Seumuran Seperti Pacarnya, Padahal Wanita Ini Sudah 50an Tahun dan Ternyata.. MAMANYA!

15 Foto Petir Paling Cetar Menggelegar yang Tertangkap Kamera (Tanpa Editan Photoshop!)