in

Suka dan Duka Menjadi Prajurit Perbatasan Republik Indonesia

Jauh dari Keluarga
Jauh dari Keluarga [imagesource]

Menjadi prajurit TNI memang tidak mudah. Selain diwajibkan memiliki ketrampilan militer dan disiplin tinggi, mereka juga harus siap untuk ditugaskan di manapun. Baik itu ke daerah konflik ataupun ke daerah ‘pinggiran’ Indonesia untuk menjaga perbatasan wilayah Republik kita.

Terutamanya prajurit penjaga perbatasan Indonesia. Selain fisik, mereka juga harus menyiapkan mental mereka dengan matang untuk dapat melalui tantangan yang ada saat menjalankan tugasnya. Melalui artikel ini, mari kita tengok sejenak, suka maupun duka yang dialami oleh para prajurit TNI yang bertugas di garis terluar wilayah NKRI.

1. Jauh dari Keluarga

Ini adalah hal yang pasti akan dialami oleh para prajurit TNI, di mana mereka harus bertugas ke luar dan berpisah jauh dari keluarga mereka. Hal yang sama juga dihadapi oleh para prajurit yang akan bertugas sebagai penjaga perbatasan. Namun bagi mereka, tantangannya bukan hanya itu saja. Selain harus berpisah dengan keluarga terkasihnya dalam waktu yang cukup lama, mereka juga kesulitan untuk melakukan kontak dengan keluarganya dikarenakan sarana telekomunikasi yang minim.

Jauh dari Keluarga
Jauh dari Keluarga [imagesource]
Tak jarang mereka harus berjalan jauh, menaiki bukit atau tempat yang tinggi hanya untuk sekedar mencari sinyal handphone. Bahkan kononnya, di daerah-daerah perbatasan tersebut, hanya handphone model jadul atau lama yang mampu menangkap sinyal. Membawa handphone model baru dengan segudang fitur, di sana fungsinya akan berubah menjadi ganjalan pintu.

2. Sarana dan Prasarana yang Minim

Tantangan lain dari menjadi pasukan penjaga perbatasan adalah sarana dan prasarana yang tidak memadai. Tidak semuanya memang, tapi ini menunjukkan tidak meratanya pembangunan di Indonesia, banyak wilayah terluar Indonesia memang mempunyai sarana dan prasarana yang minim. Jangankan transportasi roda dua atau empat, jalan saja terkadang tidak ada. Hal ini menyebabkan para prajurit TNI yang bertugas di sana sering berjalan kaki berkilo-kilo dari satu tempat ke tempat yang lain untuk melakukan patroli.

Sarana dan Prasarana yang Minim
Sarana dan Prasarana yang Minim [imagesource]
Bukan hanya dari segi transportasi, terkadang sarana yang disediakan oleh pemerintah kepada para prajurit tersebut itu kurang. Tidak jarang para prajurit tersebut harus membangun pos penjagaannya sendiri atau menumpang kepada warga karena pos penjagaan yang ada masih kurang atau sudah tidak dapat digunakan. Atau mereka harus melakukan aktifitas MCK di sungai yang jaraknya kadang tidak bisa dibilang dekat dengan pos tugas mereka.

3. Menjadi ‘Bulan Bulanan’ Tentara Negara Tetangga

Hal ini sering dialami oleh prajurit yang berjaga di wilayah perbatasan negara yang saat itu sedang ‘bersitegang’ dengan Indonesia. Mereka sering menjadi sasaran provokasi tentara-tentara negara tersebut, mulai dari pasukan bersenjata lengkap yang hilir mudik, yang tidak jauh dari pos penjagaan wilayah kita sampai manuver kendaraan perang mereka. Hal itu semakin menjadi-jadi apabila mereka mengetahui persenjataan yang dibawa oleh prajurit kita kelasnya di bawah senjata mereka.

Menjadi 'Bulan Bulanan' Tentara Negara Tetangga
Menjadi ‘Bulan Bulanan’ Tentara Negara Tetangga [imagesource]
Meskipun secara resmi, prajurit kita tidak bisa melakukan apa-apa karena memang tidak ada hukum yang dilanggar, terkadang mereka tidak diam begitu saja. Ada suatu cerita di mana beberapa prajurit perbatasan kita pada waktu malam, secara sembunyi-sembunyi menyusup ke wilayah negara tetangga, setelah siang harinya tentara perbatasan negara tersebut melakukan aksi provokasi. Prajurit kita mampu menyusup hingga ke pos tempat tentara perbatasan tersebut berjaga dan berhasil ‘mencuri’ seragam mereka. Keesokan harinya, para tentara negara tetangga tersebut heran dan kebingungan saat menemukan seragam mereka yang hilang digantung tepat berada di batas negara mereka dengan Indonesia.

4. Makanan Seadanya dan Uang Saku yang Minim

Masalah makanan juga menjadi salah satu tantangan para penjaga perbatasan kita. Bukan saja mereka tidak bisa pilih-pilih apa yang akan mereka makan, terkadang bahan makanannya saja tidak ada. Hal ini disebabkan karena seringnya pasokan untuk bahan konsumsi mereka yang terlambat datang. Belum lagi uang saku harian mereka dari pemerintah yang dinilai masih kecil untuk digunakan berbelanja sembako, terlebih lagi harga makanan dan bahan pokok di tempat mereka bertugas yang mahal. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka biasanya bercocok tanam sendiri menggunakan benih makanan yang mereka siapkan sebelum keberangkatannya, berburu ataupun memancing.

Makanan Seadanya dan Uang Saku yang Minim
Makanan Seadanya dan Uang Saku yang Minim [imagesource]
Makanan ‘mewah’ yang sering mereka makan saat bertugas adalah ransum militer. Meskipun namanya ransum, sebenarnya rasa daripada makanan ‘instan’ dalam kaleng tersebut cukup nikmat. Selain itu, porsinya cukup besar dan mengandung gizi yang cukup serta lengkap untuk menunjang aktivitas para prajurit. Namun seperti yang dikatakan sebelumnya, sering kali ‘pengantaran’ logistik tersebut datang terlambat dan tidak merata.

5. Semakin Dekat dengan Warga

Selain berbagai kesulitan yang dialami oleh para pasukan penjaga perbatasan kita, tentunya ada juga cerita suka yang menghinggapi mereka. Yang paling tampak adalah bagaimana kedekatan mereka dengan penduduk asli di daerah mereka bertugas. Bukan hanya sekedar menjaga perbatasan saja, para pasukan TNI di sana juga berinteraksi dengan penduduk sekitar. Kegiatan-kegiatan sosial juga sering dilakukan oleh para prajurit, seperti mereka mengajari anak-anak di wilayah tugasnya untuk bisa membaca dan menulis.

Semakin Dekat dengan Warga
Semakin Dekat dengan Warga [imagesource]
Tidak jarang pula para prajurit bekerja sama dengan penduduk sekitar untuk membangun sarana dan prasarana desanya. Penduduk pun merasa lebih aman karena dijaga oleh para prajurit TNI. Penduduk sekitar pun tidak jarang mengantarkan makanan atau sekedar mengobrol hangat dengan para prajurit perbatasan. Hubungan laksana simbiosis mutualisme inipun menimbulkan ikatan batin yang sangat erat antara prajurit dan penduduk sekitar sehingga tak jarang para prajurit tersebut menganggap para penduduk sebagai keluarganya sendiri. Rasa haru akan tercipta saat para prajurit tersebut akan menyudahi masa tugas dan kembali ke kesatuannya. Mereka seakan-akan meninggalkan kembali keluarganya untuk bertugas di tempat yang baru.

Itulah beberapa suka maupun duka menjadi prajurit yang bertugas di perbatasan. Meskipun banyaknya tantangan yang dihadapi, mereka selalu siap dan iklas menerima penugasannya serta melaksanakan semua tugasnya dengan disiplin dan tanggung jawab tinggi. Tanpa mengabaikan tugas prajurit negara yang lain, sudah saatnya para petinggi negara dan militer kita lebih memperhatikan nasib para tentara dan anak buahnya utamanya yang berada di garis terluar Indonesia karena merekalah ujung tombak terdepan yang siap mengorbankan darah, keringat serta hidup mereka demi keamanan dan kesatuan NKRI.

Written by Yandi Yan

Leave a Reply

Gara-gara Serial Meteor Garden, Beginilah ‘Gaul’ Ala Anak Tahun 2000an

5 Alasan Kenapa Situasi di Indonesia Sering Memanas Tak Terkendali