in

Sarana Milik Umum Kerap Hilang Dicuri, Benarkah Warga Indonesia Bermental Maling?

Entah karena sudah putus urat malu atau memang dasarnya bermuka tembok, serangkaian peristiwa pencurian sarana publik di Indonesia memang sudah masuk dalam fase akut alias parah. Lihat saja, barang-barang milik masyarakat seperti kabel telekomunikasi, tiang telepon hingga pasak besi pada bantalan rel kereta api, kerap berpindah tempat tanpa seijin pemiliknya. Jelas sudah siapa yang mencuri kalau bukan kalangan masyarakat sendiri. Ckckck…

Contoh yang paling nyata adalah alat pendeteksi tsunami, di mana para pejabat banyak bersuara tentang ‘matinya’ benda tersebut. Bukan hanya mangkrak tak berguna, sebagian besar perangkat yang tersebar di beberapa daerah seperti Aceh dan Palu tersebut, dilaporkan tak berfungsi karena rusak dan beberapa hilang. Alhasil, tsunami dengan entengnya menerjang yang menimbulkan banyak korban jiwa berjatuhan. Apakah hal tersebut terkait dengan mental maling, siapa tahu?

Pencurian sarana dan prasarana umum yang ‘semakin di depan’

Seperti yang dilansir dari news.detik.com, sebanyak 9 orang pelaku pencurian kabel tanam milik Telkom berhasil diamankan pihak berwajib. Barang buktinya berupa kabel sepanjang 20 meter dan satu unit mobil bak terbuka yang mungkin digunakan untuk mengangkut barang. Bayangkan, sebuah kabel untuk kelancaran komunikasi, tiba-tiba hilang tanpa jejak. Siapa yang dirugikan? Tentu saja bukan hanya Telkom sebagai pemilik. Melainkan masyarakat yang bakal terganggu kelancaran komunikasinya.

Kasus pencurian kabel [sumber gambar]
Itu masih soal kabel. Alat pendeteksi tsunami yang berada di pinggiran pantai pun tak luput dari tangan jahil masyarakat yang kelewat ‘kreatif’. Hal ini terungkap setelah pasca terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Palu beberapa waktu silam. Di mana alat pendeteksi diketahui tak berfungsi sebagaimana mestinya. Alasannya pun klasik. Rusak karena dirusak atau hilang dicuri. Para pejabat negara pun akhirnya buka suara menyerukan agar masyarakat tak melakukan aksi vandalisme pada alat tersebut. Entah efektif atau tidak.

Harap maklum karena sudah lumrah terjadi

Kasus malingisasi sarana milik publik memang kerap terjadi di Indonesia. Meski para pelakunya terkena ancaman penjara atau hukuman, hal tersebut bukannya malah berkurang tapi semakin menjadi-jadi. Benda-benda seperti besi penutup gorong-gorong, pasak yang menjadi pengikat bantalan rel kereta api hingga jaringan kabel, kerap hilang dicuri. Alhasil, mindset ‘harap maklum‘ seolah menjadi kalimat penutup yang paripurna untuk mengomentari kejadian tersebut. Walah!

Harap maklum karena sering terjadi [sumber gambar]
Selain itu, mental maling akut yang diidap oleh masyarakat Indonesia juga tidak lepas dari perilaku para elitnya di jajaran pemerintahan yang sering terbelit kasus korupsi. “Pejabat aja jadi maling dengan korupsi, masa kita enggak“, barangkali begitulah pembenaran ala masyarakat kita. Bisa jadi juga, mereka terpaksa ngembat fasilitas publik karena terdesak oleh faktor ekonomi. Well, lengkap sudah. Pejabat negara kehilangan wibawa karena tak bisa menjadi teladan yang baik, alasan terdesak kebutuhan hidup pun menjadi  hal yang masuk akal untuk dipakai. Lantas, bagaimana jika tujuannya hanya untuk hura-hura menikmati duniawi belaka? Hmmm…

Masyarakat dan pejabat harus saling memahami kebutuhan satu dengan lain

Tak ada Presiden tanpa adanya sekumpulan rakyat. Sebaliknya, segerombolan warga masyarakat tak akan bisa berjalan tanpa kehadiran seorang pemimpin. Dari sini, jelas sudah bahwa pejabat negara mempunyi hubungan yang erat dengan warganya. Jika para petinggi tersebut memberikan teladan yang buruk (korupsi), alhasil hal serupa juga bakal dipraktikkan oleh rakyatnya. Contohnya ada di gambar bawah ini, eng..ing..eng..

Hanya di Indonesia, maling hak rakyat bisa tersenyum bebas [sumber gambar]
Namun sebaliknya, jika para pemimpin memberikan contoh yang baik, tentu rakyat akan menaruh simpati dan mengangkat topi tinggi-tinggi untuk menghormati. Tak hanya itu, kepercayaan pun bakal didapat dengan mudah tanpa perlu bersusah payah kampanye kesana kemari mencari suara. Dimulai dari pengertian dan kerjasama yang erat antara warga dan pejabatnya, tentu sejumlah hal negatif secara perlahan bisa dirubah. Termasuk mental maling seperti yang disebutkan di atas.

Sebagai bagian masyarakat dari bangsa Indonesia, malu dan tak etis rasanya jika masih menyimpan mental maling di dalam diri kita. Ayo, mari sama-sama menginstrospeksi diri. Melihat dan menilai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Karena bentuk pencurian dan sebangsanya, bakal lebih banyak mendatangkan kesengsaraan daripada manfaat. Apapun alasannya.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

Lagi Ngehits, 15 Judul Sinetron ‘Lawak’ Ini Dijamin Bikin Netizen Ngakak Jumpalitan

5 ‘Dosa’ Ketua Umum PSSI, Pantaskah Pak Edy Mundur Dari Jabatannya?