in

Ilustrasi Kebiasaan Masyarakat Indonesia yang Bikin Malu dan Menampar

fi

Seorang desainer asal China bernama Yang Liu , menerbitkan sebuah buku pictogram yang berisi perbedaan budaya Timur dan Barat berjudul East Meet West. Buku yang dirilis di Jerman pada tahun 2007 silam ini terinspirasi dari pengalaman pribadinya saat merasakan cultural shock di awal kepindahannya ke Berlin pada usia 13 tahun.

Dalam kata pengantar buku tersebut, Liu menuliskan bahwa kepindahannya dari Beijing ke Berlin membawa banyak pergolakan pada cara berpikirnya. Ada begitu banyak momen di mana ia sangat terkejut bahkan merasa terganggu oleh perbedaan budaya dan karakter antara negara-negara Timur dengan negara Barat.

Liu pun berusaha merekam setiap perbedaan budaya yang ia temui kemudian menuangkannya dalam pictogram yang disimbolkan dengan 2 warna, merah untuk Timur dan biru untuk Barat. Karena murni berasal dari pengalaman pribadinya, budaya Timur yang ia masukkan dalam pictogram tersebut memang lebih banyak bersumber dari kehidupan penduduk China.

Tapi uniknya, ada juga beberapa pictogram Liu yang ternyata juga berhasil menggambarkan kebiasaan alay di Indonesia dengan sangat akurat, seperti berikut ini.

1. Orang Indonesia takut matahari

Banyak negara empat musim yang iri dengan negara tropis seperti Indonesia. Bayangkan saja, penduduk Indonesia diberkati dengan sinar matahari sepanjang tahun yang membuat cuaca tetap hangat. Sayangnya, orang Indonesia ternyata justru anti dengan sinar matahari dan seringkali melakukan perlindungan berlebihan saat beraktivitas di luar ruangan.

Orang Indonesia takut matahari [image source]
Orang Indonesia takut matahari [image source]
Takut gosong jadi alasan utama mengapa orang Indonesia sangat anti sinar matahari. Ketika naik motor di siang hari misalnya, tak cukup jaket dan masker saja yang digunakan untuk melindungi diri. Ada juga jaket tebal, kaos kaki, dan kaos tangan yang mencegah sinar matahari langsung terkena kulit. Di saat yang sama, kita bisa melihat para bule melenggang santai di bawah terik matahari dengan pakaian ala kadarnya.

2. Naik mobil ke mana-mana baru bisa dianggap gaul

Meski beberapa tahun terakhir tren bersepeda marak di Indonesia, hal ini tetap tak mengubah kenyataan bahwa penduduk negeri ini masih memandang mobil sebagai penanda status sosial. Tak cuma para pekerja, kini anak sekolah pun banyak yang sudah mengendarai mobil sendiri. Kalau dulu punya sepeda atau sepeda motor sudah dianggap berada, kini mobil jadi lambang kekayaan yang tak terbantahkan. Istilahnya, belum bisa jadi anak gaul kalau tak punya mobil sendiri.

Naik mobil ke mana-mana baru bisa dianggap gaul [image source]
Naik mobil ke mana-mana baru bisa dianggap gaul [image source]
Sedangkan di sisi lain, budaya Barat justru sebaliknya. Jika dulu mobil jadi primadona, kini masyarakat Barat menyadari bahwa sepeda merupakan kendaraan yang lebih efektif. Selain hemat bahan bakar dan ramah lingkungan, sepeda juga bisa jadi alternatif terbaik untuk menjaga kesehatan. Kapan ya, penduduk Indonesia bisa terlepas dari pola pikir “mobil itu keren” dan mulai naik sepeda karena kesadaran bukan hanya mengikut tren?

3. Putih itu cantik, hitam itu nggak banget

Kalau Anda punya media sosial, pasti akrab dengan aneka iklan produk kencatikan kulit, mulai dari yang dioles hingga diminum. Ya, orang Indonesia memang sangat terobsesi untuk memiliki kulit putih cemerlang dan menganggap kulit gelap adalah musibah. Bahkan tak hanya kaum Hawa, kini para pria juga berlomba-lomba memutihkan kulit dengan bantuan berbagai produk kecantikan.

Putih itu cantik, hitam itu nggak banget [image source]
Putih itu cantik, hitam itu nggak banget [image source]
Hasil akhirnya, kita bisa dengan mudah menjumpai ‘manusia belang’ yang memiliki kulit cerah di bagian wajah tapi tak demikian halnya dengan kulit leher, tangan, dan kaki yang berwarna jauh lebih gelap. Sedangkan di Barat sendiri, kulit gelap justru dianggap lebih cantik dan sehat sehingga tak sedikit orang yang rela melakukan tanning atau berjemur di bawah sinar matahari langsung.

4. Berwisata untuk foto-foto, bukan untuk menyegarkan pikiran

Akhir-akhir ini, televisi, koran, dan media sosial dihiasi dengan berita kematian tragis akibat foto selfie di lokasi-lokasi wisata seperti gunung atau pantai. Banyak orang yang mengabaikan tingginya tebing atau derasnya ombak demi mendapatkan hasil foto keren untuk dipamerkan di media sosial. Ada pula berita miris di mana sekelompok wisatawan lokal justru menginjak-injak bunga yang mekar setahun sekali untuk mendapatkan foto yang bagus.

Berwisata untuk foto-foto, bukan untuk menyegarkan pikiran [image source]
Berwisata untuk foto-foto, bukan untuk menyegarkan pikiran [image source]
Makin hari, esensi liburan di Indonesia tampaknya makin bergeser. Liburan ke suatu tempat bukan dilakukan untuk menyegarkan pikiran dan membuang penat, tapi justru dijadikan ajang foto alay kemudian dipamerkan di media sosial. Orang Indonesia pun lebih memilih melihat keindahan alam melalui mata kamera dibanding menikmatinya dengan indra penglihatan sambil bersantai.

5. Anak muda Indonesia menjadikan orang tua sendiri sebagai baby sitter

Hmm, agak menggelitik memang penggambaran Liu yang satu ini. Dalam budaya Barat, orang yang sudah memasuki usia senja biasanya bebas menjalani hari-hari dengan penuh kesenangan. Mereka bebas menghabiskan hasil kerja keras selama hidupnya dengan berbagai cara, misalnya liburan ke luar negeri atau membeli barang-barang yang disukai. Singkat kata, kaum lansia di negara Barat tak lagi dibebani dengan tanggung jawab yang bermacam-macam.

Anak muda Indonesia menjadikan orang tua sendiri sebagai baby sitter [image source]
Anak muda Indonesia menjadikan orang tua sendiri sebagai baby sitter [image source]
Tapi beda halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Di sini, para lansia sibuk merawat cucu-cucunya dan harus merelakan masa tua yang seharusnya bisa dihabiskan dengan bersenang-senang. Meski tentu saja mereka tak merasa terpaksa dan terbebani, tapi tentu lebih baik kan, kalau generasi muda Indonesia memberikan kesempatan para orang tua untuk beristirahat? Bukan malah sibuk dengan karier dan terpaksa meyerahkan buah hati ke tangan orang lain.

Lihat sendiri kan, pictogram Yang Liu yang sebenarnya didasarkan pada kehidupan sehari-hari penduduk Negeri Tirai Bambu, ternyata cukup akurat menggambarkan kondisi orang Indonesia saat ini. Satu halyang perlu digarisbawahi, Liu membuat pictogram ini bukan untuk merendahkan budaya Timur dan masyarakat Asia.

Bukan pula untuk meninggikan budaya Barat dan negara Jerman tempat ia tinggal sekarang. Justru, Liu ingin membagikan pelajaran yang ia dapatkan sebagai orang Timur yang mempelajari budaya Barat. Menarik, bukan?

Written by Diah

Leave a Reply

Ngeri! 7 Penyakit Aneh yang Jarang Terdengar Ini Nggak Ada Obatnya

Inilah 7 Misteri Keberadaan Alien dan UFO yang Berasal dari Zaman Kuno