Jawa merupakan salah satu suku yang paling unik di Nusantara. Bukan hanya karena mayoritas masyarakat di Indonesia adalah suku Jawa, melainkan adanya beragam ciri khas dari suku tersebut. Mulai dari budaya, kuliner, karakter hingga pesan-pesan moral yang tersemat dalam bentuk legenda, mitos hingga alat musik asal Jawa, semua memiliki makna.
Bahkan, penyebutan angka dalam bahasa Jawa juga memiliki makna khusus. Dalam sebutan beberapa angka, terselip pesan-pesan moral yang bisa digunakan sebagai tuntunan hidup yang baik. Mungkin, sebagian besar dari orang Jawa masa kini sama sekali tidak kepikiran, betapa bijaknya orang Jawa kuno yang bisa menyematkan pesan melalui angka. Dan, berikut ini adalah filosofi penyebutan angka dalam bahasa Jawa.
Menyebut angka 11-19
Penyebutan angka dalam bahasa Jawa memang bisa dibilang sangat jauh dari bahasa Indonesia. Kamu orang-orang suku Jawa tentu tidak asing dengan hitungan berbahasa Jawa, seperti siji, loro, telu, papat dan seterusnya. Terlebih jika hitungan tersebut memasuki belasan, pola yang digunakan juga akan sangat berbeda.
Menyebut angka 21-29
Setelah bilangan belasan, berlanjut pada angka 21 hingga 29. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang pola pengucapannya sesuai pola, misalnya dua puluh satu, dua puluh dua, dan seterusnya. Bahasa Jawa tidak menyebutnya dengan, rong puluh siji, rong puluh loro dan seterusnya. Orang Jawa kuno menyebut angka tersebut dengan menambahkan kata ‘likur’.

Likur sendiri memiliki makna ‘lingguh kursi’ (duduk di kursi). Hal itu karena biasanya, manusia di usia 21-29 sudah mendapatkan ‘tempat duduk’ atau biasa disebut kedudukan, atau profesi yang digeluti. Kita bisa mengambil pesan moral yang terdapat dalam cara penyebutan angka tersebut, jika memang merasa memasuki usia tersebut, baiknya memang terus giat dalam bekerja untuk masa depan yang lebih baik. Oh, iya, ada juga pengecualian pada angka 25, orang Jawa bisanya menyebutnya dengan ‘selawe’. Maksudnya adalah seneng-senenge lanang lan wedok (senang-senangnya laki-laki dan perempuan) karena usia tersebut adalah yang paling pas untuk menikah.
Menyebut angka 50
Bilangan 30 hingga 49, tidak ada yang aneh dari penyebutan angka tersebut. Semuanya disebut sesuai pola, misalnya saja telung puluh siji, telung puluh loro dan seterusnya. Nah, yang berbeda adalah angka 50 yang basa disebut dengan ‘seket’. Adakah filosofi di balik penyebutan itu? Iya, tentu saja ada. Konon, istilah ‘seket’ tersebut adalah singkatan dari ‘seneng kethunan’ (suka mengenakan peci, kopiah, kethu atau penutup kepala).
Menyebut angka 60
Angka dengan penyebutan berbeda lainnya adalah 60. Orang Jawa tidak menyebutnya dengan ‘nem puluh’ sesuai pola, melainkan dengan istilah ‘suwidak’. Istilah tersebut juga memililiki makna ‘sejatine wis wayahe tindak’ yang artinya sebenarnya sudah saatnya pergi. Seperti kita ketahui, Rasulullah SAW dahulu juga meninggal di usia 60-an.
Nah, itulah sekilas tentang filosofi angka versi orang Jawa. Jika dicermati, bisa dipastikan leluhur Jawa pastilah orang-orang yang cerdas dan juga berbudi pekerti. Sebagai keturunan orang Jawa, sudah sepantasnya kita melestarikan dan menjalankan pesan-pesan moral yang diselipkan dalam deretan angka tersebut.