in

4 Fakta Rumah Rengasdengklok, Saksi Kemerdekaan Indonesia yang Masih Berdiri Hingga Kini

Kemerdekaan Indonesia adalah suatu peristiwa sakral yang wajib dikenang oleh semua penduduk Indonesia. setelah berabad-abad bangsa kita dijajah, atas prakarsa dan keberanian para proklamator, 17 Agustus menjadi saksi atas bebasnya kita dari cengkraman para kolonial.

Jika kita #trowbek17an, ada banyak sekali tempat bersejarah, orang yang berperan, serta peristiwa menjelang kemerdekaan yang terjadi, dan hal tersebut tercatat serta menjadi saksi sejarah. Salah satu yang harus kita kenang adalah Rengasdengklok, wilayah yang menjadi tempat singgah bapak-bapak bangsa menjelang Indonesia merdeka. Berpuluh tahun telah berlalu, ini loh fakta rumah Rengasdengklok yang kadang tak banyak diketahui oleh orang.

Bung Karno dan Bung Hatta tidak diculik

Peristiwa Rengasdengklok [Sumber gambar]
Dari kita duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Rengasdengklok selalu dikaitkan dengan penculikan kedua tokoh proklamator tersebut. Pagi-pagi buta pada 16 Agustus, pukul 04.30 WIB,  sekelompok pemuda revolusioner (Chaerul Saleh, Soekarni, dan Wikana) membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Sidik Kertapati lebih memilih untuk menggunakan kata ‘pengamanan tokoh’ agar jauh dari Jepang dan melakukan tugas mereka untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Ketika di Rengasdengklok, kedua tokoh ini disambut hangat oleh para tentara Pembela Tanah Air (PETA) dengan pekik “Hidup Bung Karno!”, “Indonesia Sudah Merdeka!”.

Rumah di tepi sungai Citarum milik petani Tionghoa

Djiaw Kie Siong [Sumber gambar]
Rumah Hijau ini masih berdiri hingga sekarang, hanya saja lokasinya berbeda dengan tempat ‘pengamanan’ Bung Karno dulu. Rumah tersebut diketahui milik  petani  keturunan Tionghoa, bernama Djiaw Kie Siong. Ketika rombongan Bung Karno datang, Djiaw Kie Siong memboyong semua keluarganya agar rumah itu bisa ditempati. Pada tahun 1957, luapan lumpur dan erosi membuat Bung Karno memerintahkan agar rumah Rengasdengklok ini dipindahkan. Kini, bangunan bersejarah tersebut terletak di RT 1 RW 9 Kampung Kalijaya, Rengasdengklok Kabupaten Karawang, belakang tugu proklamasi.

Tempat perumusah teks proklamasi pertama kali

Bung Karno dan Bung Hatta [Sumber gambar]
Perumusan teks proklamasi melalui perjalanan panjang sebelum diketik oleh Sayuti Melik. Selama ini kita mungkin mengetahui jika teks proklamasi dirumuskan di rumah Laksamana Muda Maeda. Ya, hal tersebut tepat setelah terjadinya peristiwa Rengasdengklok. Sebelumnya, Bung Karno telah merumuskan proklamasi di rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok. Hal tersebut diketahui selepas Bung Karno kembali ke Jakarta, karena terdapat beberapa robekan kertas yang sepertinya digunakan dalam menyusun konsep proklamasi. Namun, karena terdapat kekhawatiran jika jejak dari kedua proklamator tersebut akan ketahuan oleh tentara Jepang, maka robekan kertas tersebut kemudian dibakar untuk menghilangkan jejak, seperti dilansir dari rappler.com.

Rumah yang pernah ditawar oleh pembeli

Rumah rengasdengklok [Sumber gambar]
Sang pemilik, Djiaw meninggal dunia pada 1964, dan namanya hampir hilang dan tak masuk dalam catatan sejarah. Untungnya pada 1961, Mayjen Ibrahim Adjie yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam Siliwangi memberikan sebuah penghargaan –yang hingga kini ada di Rengasdengklok. Rumah ini hanya sering dikunjungi oleh keluarga presiden Soekarno saja karena memang dianggap bersejarah. Menurut cucu dari Djiaw, ada yang pernah memberi penawaran untuk membeli Rengasdengklok, hanya saja kecintaan keluarga mereka terhadap Soekarno membuat rumah ini bertahan hingga sekarang dan banyak dikunjungi wisatawan.

Itulah rengasdengklok, saksi kisah yang masih terus bisa bercerita dan membawa kita #trowbek17an mengenang tentang peristiwa yang pernah terjadi di sana. Rumah ini masih asli dengan perabotan milik Djiaw, meskipun telah dipindahkan ke lokasi berbeda. Hanya saja, perabotan yang pernah dipakai oleh Bung Karno dan Bung Hatta sudah dipindahkan ke Museum Siliwangi, Bandung.

Written by Ayu

Ayu Lestari, bergabung di Boombastis.com sejak 2017. Seorang ambivert yang jatuh cinta pada tulisan, karena menurutnya dalam menulis tak akan ada puisi yang sumbang dan akan membuat seseorang abadi dalam ingatan. Selain menulis, perempuan kelahiran Palembang ini juga gemar menyanyi, walaupun suaranya tak bisa disetarakan dengan Siti Nurhalizah. Bermimpi bisa melihat setiap pelosok indah Indonesia. Penyuka hujan, senja, puisi dan ungu.

Leave a Reply

Kisah Kakek 91 Tahun yang Jadi Saksi Horornya Tentara Jepang di Indonesia

Dari Berdasi Hingga Anatomi Tubuh, Inilah Seragam Pemain ‘Teraneh’ di Jagad Sepak Bola