Sejatinya mendirikan sebuah perusahaan tujuannya adalah agar mendapatkan keuntungan. Ya, entah itu menekan biaya produksi, atau mencari cara promosi lain agar produk yang dijual laku. Dengan laba yang banyak, bukan hanya perusahaan, pegawai pun jadi untung karena dapat bonus yang lumayan.
Masih tentang perusahaan, rupanya di China ada beberapa pabrik yang hanya melulu berpikir tentang laba, alhasil kemakmuran pegawainya jadi nomor sekian. Jadilah para pekerja ini diperas seolah sedang melakukan kerja paksa. Lalu bagaimana keadaan sebenarnya di sana? Simak ulasan berikut.
Bahkan mesin pun punya waktu istirahat, tidak untuk mereka
Hanya demi sebuah keuntungan, rasa manusiawi rupanya harus dikorbankan. Tidak tanggung-tanggung dari ratusan hingga ribuan pekerja yang ada di sana, diperas secara pikiran dan tenaga. Bayangkan saja, untuk mendapatkan hasil yang banyak, maka waktu para pegawai itu yang harus direlakan. Coba pikirkan, apakah hal ini logis? Dalam satu kali shift para pekerja ini hanya diberi waktu 30 menit untuk beristirahat. Itu sudah termasuk waktu makan dan lain-lain. Sayangnya, hanya dengan bekerja seperti itu mereka bisa bertahan hidup, kalau tidak, para pekerja itu tidak akan punya uang dan jadi gelandangan.
Biaya produksi ditekan dengan gaji
Mungkin yang dipikirkan oleh beberapa pabrik yang ada di China hanyalah masalah uang. Karena realitanya mereka cuma digaji sekitar Rp 3 juta dalam sebulan. Iya, mungkin sih dengan gaji segitu di Indonesia masih dapat hidup, bahkan bisa beli barang mewah. Tapi ini masalahnya terjadi di China, dengan uang segitupun mereka mungkin masih bingung harus berhutang ke mana lagi demi menutupi kebutuhan. Belum lagi ternyata para pegawai ini masih dituntut untuk bekerja selama 10 jam dalam sehari. Seolah rasanya ingin resign saja, tapi mau bagaimana lagi. Walhasil, mereka terus menjalani kehidupan yang seperti robot itu.
Gak peduli dengan aturan, yang penting dapat untung
Moto untuk mendapatkan laba sebanyak-banyaknya mungkin melekat dalam industri mainan di China. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kebanyakan dari para pekerja itu adalah para pekerja magang dan perempuan, bahkan anak-anak pun ada di sana. Tujuannya apa? Hanya demi dapat memangkas penggunaan pegawai laki-laki yang pastinya akan meminta gaji yang lebih tinggi. Sadar atau tidak, di balik sistem kerja yang ibarat Romusha itu, rupanya para pekerja ini punya anak dan suami yang masih harus diurus. Sepertinya perusahaan China ini memang lupa akan hal itu atau malah sengaja melupakannya, entahlah.
Habis manis sepah dibuang
Mungkin istilah ini memang cocok dengan apa yang ada di balik perusahaan mainan di China. Coba bayangkan sendiri, ketika para pekerja itu sudah mencapai usia 30 tahun, maka pemecatan akan siap-siap menanti mereka. Padahal jika kita menengok ke belakang, bukankah karena kontribusi mereka ini laba perusahaan di sana jadi mengalir sangat cepat. Namun seperti kacang lupa kulit, para pekerja ini ditinggalkan. Masih beruntung buat mereka yang dapat uang pensiun yang banyak, karena tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan tunjangan yang asal-asalan. Bahkan ada pula yang tak menerima sepeserpun uang.
Perusahaan mencoba mengakali hukum
Sungguh picik apa yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di China ini. Dengan mengakali hukum setempat, mereka mencoba lari dari tanggung jawab. Ya, sistem bernama hukou mengatur mengenai tunjangan pada karyawan sebenarnya hanya dapat diperoleh jika mereka bekerja di tempat mereka lahir. Oleh sebab itu banyak dari industri mainan di sana yang lebih suka merekrut para pendatang. Sayangnya meskipun diperlakukan demikian, pemerintah seolah diam akan hal tersebut. Mau bagaimana lagi, lha wong yang buat ketentuan juga mereka sendiri. Kalau begini jadi bingung siapa yang harusnya disalahkan.
Ya, meskipun keadaan seperti itu, namun tidak semua perusahaan mainan yang ada di sana melakukan hal serupa. Namun kembali lagi, hal seperti itu tidak seharusnya terjadi, apalagi mengingat setiap pekerja di sana juga punya haknya sendiri.