in

Bukit Matahari, Jejak Budaya Megalit Nusantara

page
page

Bosan dengan tujuan wisata yang itu–itu saja? Jenuh dengan pemandangan pantai, hijaunya pegunungan, dan berjemur di bawah matahari? Malas dengan ramainya taman hiburan dan mall-mall ala perkotaan? Baiklah, nampaknya anda perlu mencoba plesiran ke tempat yang sedikit klasik dengan sejuta hal menawan. Salah satunya Bukit Matahari, kenapa sih harus banget berlibur ke Bukit Matahari? Tentunya karena anda akan mendapatkan pengalaman dan suasana yang benar-benar baru.

Pemandangan bernuansa batu-batuan besar dengan detail dan desain unik akan menarik lekat mata untuk memandang. Ditambah lagi suasana khas dan tak biasa yang ditampilkan suku-suku asli. Nuansa batu yang tak lepas itu menghiasi banyak lini kehidupan. Satu lagi tradisi lompat batu yang sempat diabadikan sebagai gambar uang kertas 1000 rupiah ada di tempat ini. Nah, saatnya anda menelisik lebih jauh keindahan yang ada di Bukit Matahari berikut ini.

1. Bukit Matahari

Terletak di ketinggian 400 meter di atas bukit, membuat leluhur desa ini menamakannya Bawomataluo yang berarti “bukit matahari”. Jangan terkecoh dengan istilah matahari dan mengira daerah ini bercuaca panas, justru cuaca sejuk dan dinginlah yang akan anda rasakan. Desa ini merupakan sebuah desa budaya yang berada di Kecamatan Fayanama, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.

Suasana Desa Bawomataluo [image source]
Suasana Desa Bawomataluo [image source]
Didiami orang-orang Nias yang biasa dikenal dengan istilah Ono Niha, yang diyakini oleh sebagian antropolog dan arkeolog sebagai salah satu puak-puak tertua di Indonesia. Selain itu, desa ini kaya akan budaya yang mencerminkan pandangan hidup masyarakatnya. Daya tarik desa ini di antaranya terletak pada peninggalan megalitikum dan tradisi lompat batu.

2. Nuansa Serba Batu

Pertama kali memasuki desa ini, anda akan langsung disambut dengan tangga desa yang terbuat dari batu. Tangga ini terlihat unik, klasik, dan menawan. Selepas menjejaki tangga masuk, mata anda akan bertemu deretan rumah penduduk yang rapi berjajar berhadapan dengan rumah Raja Nias (Omo Sebua). Rumah raja terletak di sebelah kiri, sedangkan rumah warga ada di sebelah kanan. Rumah warga berbentuk seragam dengan pondasi terbuat dari kayu dan menggunakan atap berupa daun rumbia. Meski telah berusia ratusan tahun, bangunan-bangunan ini masih utuh dan terjaga dengan baik. Sampai saat ini pun, tidak pernah dilakukan renovasi. Hanya, atap rumbia yang diganti dengan seng agar lebih awet.

Rumah Masyarakat Nias yang Berbentuk Seragam [image source]
Rumah Masyarakat Nias yang Berbentuk Seragam [image source]
Orang Nias tak asal saja membuat rumah mereka berderet dengan bentuk seragam. Hal ini berkaitan dengan pandangan hidup masyarakatnya yang kekeh mempertahankan falsafah hidup. Beberapa filosofi yang dipegang erat di antaranya fabanusa (semangat bekerja sama), falulusa (gotong-royong), menjaga hati, penuh kasih, dan tenggang rasa. Wujud tindakan filosofi itu di antaranya bangunan rumah dibuat berderet dan ada lorong di tengahnya. Lorong ini memungkinkan antar keluarga bisa berkomunikasi dan tidak ada sekat yang menghalangi. Keren, benar-benar patut diacungi jempol ya kebersamaan mereka ini.

3. Rumah Raja Nias

Nuansa batu juga menghiasi rumah Raja Nias. Di depan rumah raja terdapat bangku sepanjang 10 meter yang terbuat dari bebatuan hitam. Tak sembarang orang bisa memakai bangku ini. Raja pun, biasa menggunakannya jika akan menyampaikan pesan kepada rakyatnya. Tingkat eksklusifitas dan konon usia batu yang mencapai ratusan tahun ini menarik banyak wisatawan, utamanya wisatawan luar negeri.

Rumah Raja Nias [image source]
Rumah Raja Nias [image source]
Tak berhenti di situ, patung-patung harimau dan patung serupa manusia banyak terdapat di desa ini. Konon, patung-patung itu digunakan sebagai sesembahan masyarakat yang menganut kepercayaan animisme, jauh sebelum agama Kristen Katolik yang saat ini dianut mayoritas penduduk masuk ke desa. Suasana bebatuan juga terlihat pada lahan dan halaman, semuanya tertutupi batu. Berbeda dengan lahan-lahan pada umumnya, yang tertutupi tanah.

4. Lompat Batu

Tradisi lompat batu sering disebut fahombo atau hombo batu di kalangan orang Nias. Hal ini telah dilakukan turun-temurun selama berabad-abad, tradisi ini dipercaya sudah ada sejak jaman megalitik. Wow, cukup tua juga ya tradisi ini.

Munculnya tradisi ini diawali kebiasaan perang yang dilakukan antar suku di masyarakat. Hal yang melatarbelakangi perang pun bermacam-macam di antaranya dendam, perbudakan, dan perbatasan tanah. Ditambah lagi, watak dasar kebanyakan orang Nias yang keras dan kuat semakin memicu terjadinya perang. Karena di mana-mana terjadi perang, maka pihak desa berinisiatif membentengi daerahnya dengan bambu setinggi dua meter. Nah, fahombo ini lahir untuk persiapan perang, agar prajurit terbiasa bahkan lihai untuk melompati bambu-bambu yang membentengi desa lawan dan bisa leluasa menyerang.

Aksi Lompat Batu oleh Pemuda Nias [image source]
Aksi Lompat Batu oleh Pemuda Nias [image source]
Kini sudah tidak ada lagi peperangan, maka dari itu tradisi fahombo beralih menjadi ritual dan simbol kebudayaan orang Nias. Seorang pemuda asli Nias yang belum berhasil melompai batu setinggi 2 m, lebar 90 cm, dan panjang 60 cm ini belum dianggap dewasa dan matang secara fisik. Konsekuensinya berat, mereka tidak diperbolehkan menikah. Wah, bahaya juga ya. Cinta pemuda nias bisa terhalang lompat batu!

Sampai saat ini, tradisi lompat batu masih terus ada dan rutin diadakan. Bagi anda yang berkunjung, jangan sampai melewatkan atraksi lompat batu yang sensasional ini. Biasanya, masyarakat menggelar tradisi lompat batu bersamaan dengan Tarian Perang rutin setiap hari Sabtu.

5. Ya’ahowu

Memasuki desa ini tidak dipungut biaya sepeserpun, jadi anda tidak perlu khawatir. Yang perlu dilakukan hanya melapor kepada ketua adat setempat. Karena di tempat ini, anda akan mendapat penjelasan mengenai desa, adat, beserta sejarahnya. Peraturan khusus pun tidak ada, anda hanya diminta berpakaian sopan.

Jangan lupa ucapkan 'Ya’ahowu' [image source]
Jangan lupa ucapkan ‘Ya’ahowu’ [image source]
Satu lagi, gunakan kata Ya’ahowu untuk menyapa warga setempat. Sebuah kata sejenis salam yang memang lazim dikatakan sesama warga Nias saat bertemu. Kata ini semacam kalimat sakti yang bisa membuat orang Nias akan sangat antusias dalam menyambut anda

Nah, anda tertarik bukan mencoba pengalaman wisata baru di Desa Bukit Matahari? Jangan takut mencoba ya, karena pesona kemegahan situs megalitikum sangat patut anda rasakan. Tak hanya otak merasa fresh kembali, anda juga bisa membawa oleh-oleh sejarah kebudayaan Indonesia yang amat luhur dan bernilai tinggi.

Written by Aini Boom

Leave a Reply

Tahukah Kamu, 5 Benda Bersejarah Milik Indonesia ini Kini Berada di BELANDA!

5 Fakta Unik dari Bangsa Eskimo ini Akan Membuatmu Ingin Mengunjungi Kutub Utara