in

Memahami Makna dan Kerasnya Realita, Ketika Kita Beranjak Tua

Setiap dari kita akan mengalami tua (kecuali yang mati muda). Serem ya rasanya membayangkan. Kulit mengeriput, pandangan mata kabur, gigi tanggal, tubuh melemah, hingga akhirnya usia kita berakhir. Tidak banyak orang yang mau memikirkan hal ini, karena bagi mereka masa muda masih panjang.

Tapi sungguh, waktu berjalan sangat cepat. Saat bersekolah kita seolah ingin cepat dewasa. Biar bisa keluar dari rumah. Hidup mandiri, bebas lepas dari aturan orang tua. Tapi akhirnya kita sadar bahwa kita justru sangat merindukan rumah. Merindukan orang tua dan saudara-saudara.

Perlahan-lahan kita tumbuh. Memasuki dunia kuliah yang penuh warna. Mengalami hidup sebagai anak kost. Mengenal cinta. Bahkan mengenal hal-hal terlarang yang selama ini selalu membuat penasaran.  Waktu seolah-olah berhenti saat kita kuliah. Suka cita anak muda memang berada di saat-saat ini. Uang saku dan biaya hidup masih ditanggung orang tua, tapi kita hidup bebas lepas.

Yang selamat, kuliahnya lancar. Yang bermasalah, kuliahnya molor. Yang tidak beruntung, kuliahnya terputus. Ketika masa kuliah selesai, maka kita memasuki dunia orang dewasa: dunia kerja.

Tidak banyak orang yang menyadari hal ini karena merasa masa muda masih panjang [image source]
Inilah masa di mana, orang tua tak dapat lagi menolongmu. Saat sekolah dan kuliah, jika ada masalah, orang tua mungkin bisa membantu. Tetapi di dunia kerja, kau adalah milikmu sendiri. Segala resiko, susah, perjuangan, beban, menjadi milikmu seorang.

Kau lalu menyadari, mencari uang ternyata tidak gampang.

Hidup mandiri ternyata tidak mudah.

Kau pun kemudian menyadari, hidup adalah tentang perjuangan.

Di saat kuliah, uang sakumu habis untuk bersenang-senang. Di saat sudah bekerja, kau akan memikirkan untuk menabung, bayar cicilan, bayar kontrakan, dan lain-lain.

Di saat kuliah, kau merasa kuat, tampan atau cantik. Di saat telah bekerja, kau menyadari bahwa semua itu tidaklah cukup untuk membuatmu menjadi manusia. Dulu, kau merasa tidak akan pernah tua. Bahwa waktumu masih panjang, lalu kau mulai menyadari bahwa begitu cepatnya waktu berlalu.

Umurmu memasuki usia pernikahan. Bagi yang memilih menikah, ia kemudian menikah. Mempunyai pasangan, dan keluarga. Lalu ketika ia menyadari betapa beratnya tanggung jawab berkeluarga, baru ia paham, betapa tangguh ayah-ibunya dahulu.

Hidup mandiri tidak mudah [image source]
Bagaimana dengan gaji segitu, mereka bisa membesarkanmu dan memenuhi segala kebutuhanmu?

Makanan ada. Cucian selalu rapi terlipat di lemari. Gelas dan piring selalu ada pada tempatnya.

Bagaimana dengan kesederhanaannya, mereka bisa menyekolahkanmu begitu tinggi?

Berhutang di mana mereka? Bagaimana mereka melunasinya?

Kau lalu menyadari betapa menyakitkannya melihat anak muda yang memboroskan uang kedua orang tuanya. Kau menyesal, tapi memang semua sudah terlambat.

Dulu ketika remaja, betapa ingin kau pergi jauh dari rumah. Tetapi di saat ini, kau begitu menginginkan untuk ‘pulang’. Sekedar sekejap untuk menyapa ayah-ibu. Sekedar merasakan lagi kenangan masa kecil.

Tetapi mungkin, semua terlambat.

Orang tua mu mungkin telah meninggal. Rumah keluarga pun telah dijual. Lalu kau menyadari, kau tak lagi punya rumah. Kau tak lagi punya benteng kuat yang melindungimu saat terjadi sesuatu.

Kau hanya bisa membangun bentengmu sendiri, yang entah kekuatannya pun tidak kau yakini.

Inilah hidup.

Fase di mana ketika dulu ingin sekali kau jalani, namun kini ingin sekali kau tinggalkan.

Ketika kecil, kita ingin dewasa.

Ketika dewasa, betapa ingin kita menjadi anak kecil lagi.

Ketika di rumah, ingin merdeka.

Ketika merdeka, ingin kembali ke rumah.

Ketika nganggur, ingin bekerja.

Ketika bekerja, ingin menganggur.

Kemudian pekerjaan memakan usiamu perlahan-lahan. Kau tak dapat lagi bertemu dengan sahabat-sahabatmu. Masing-masing begitu sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Dulu yang berkumpul setiap hari, berubah menjadi ‘jika ada waktu’. Lalu berubah pula menjadi ‘diusahakan sebisanya’.

Lalu mereka menghilang. Entah kemana.

Satu per satu teman mulai sibuk, dan menghilang entah ke mana.

Kemudian rambutmu memutih. Tubuhmu tak lagi indah. Kantong mata mulai datang. Tidur pun sudah mulai mendengkur. Perlahan-lahan kau tak lagi dapat membaca buku kesukaanmu, karena pandanganmu telah berkurang. Padahal usiamu belum lagi 40 tahun!

Kau lalu menyadari, betapa waktu berlalu sungguh cepat. Ketika dulu orang tuamu mengatakan hal ini, kau hanya merasa heran. Kini kau menyadari betapa tepatnya ucapan mereka.

Segala yang mereka ucapkan, dan lakukan, yang dulu begitu salah di matamu, kini menjadi sepenuhnya benar. Dan anak-anakmu melakukan hal yang sama kepadamu, menggeleng heran terhadap pebuatanmu, dan menentang semua perkataanmu.

Dalam hati kau berkata, ‘’Ayah, ibu, betapa benarnya perkataanmu dahulu, Betapa kelirunya aku dahulu.’’

Ayah, Ibu.. Betapa benarnya perkataanmu dahulu. [image source]
Mengapa anak selalu terlambat memahami orang tuanya ?

Mengapa ketika kita tua, baru kita dapat mencintai orang tua sepenuh hati ?

Karena seseorang tidak akan pernah benar-benar mengerti akan sesuatu, sebelum ia mengalaminya.

Waktu demikian kejam. Hidup ternyata begitu singkat.

Kirim doa untuk orang tua, sekarang.

Semoga air mata penyesalanmu diganti Tuhan dengan pahala untuk orangtuamu. Karena perbuatan anak shalih yang mendoakan orang tuanya. Amin.

Written by Norman Duarte

Leave a Reply

Mitos Tentang Keranda Mayat Ini Sebaiknya Jangan Pernah Diremehkan

Okipa, Ritual Keagamaan Menyakitkan Ala Suku Indian yang Rasanya Seperti Bunuh Diri