in

Tragedi Achmad Mochtar, Dokter Indonesia yang Dipancung Jepang Demi Selamatkan Rekannya

Nama Achmad Mochtar mungkin jarang terdengar dalam pelajaran sejarah. Namun dokter yang satu ini memiliki jasa yang luar biasa bagi rekan-rekannya sesama dokter dan juga bagi Indonesia.

Achmad Mochtar adalah seorang dokter dan ilmuwan kelahiran Bonjol, Sumatera barat. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman, sebuah lembaga penelitian biologi di Jakarta yang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda.

Tragedi yang Menewaskan 900 Romusha

Pada tahun 1944, 900 orang romusha diberi vaksin TCD karena memperlihatkan tanda-tanda bahwa mereka sakit. Vaksin yang diberikan berasal dari Lembaga Pasteur yang dikelola militer Jepang. Namun bukannya sembuh, beberapa hari setelah divaksin ratusan orang malah meninggal dunia.

Romusha [Image Source]
Romusha [Image Source]
Lembaga Eijkman kemudian diperintahkan untuk melakukan penelitian terhadap jaringan tubuh korban agar diketahui penyebab kematiannya. Ternyata, vaksin TCD yang diberikan mengandung basil tetanus. Namun pihak Jepang yang tidak terima justru menangkap para peneliti di lembaga Eijkman termasuk tenaga medis yang melakukan vaksinasi dengan tuduhan sabotase.

Mochtar dan Stafnya Disiksa Atas Kematian 900 Orang Romusha

Polisi Jepang menyalahkan Achmad Mochtar yang merupakan Direktur Lembaga Eijkman beserta stafnya atas tragedi tersebut. Pihak Jepang menuduh Mochtar dan staffnya sengaja menyabotase vaksin TCD agar para romusha meninggal.

Achmad Mochtar [Image Source]
Achmad Mochtar [Image Source]
Mochtar dan stafnya disiksa sedemikian rupa mulai dari disemprot air, dibakar, hingga disetrum. Satu orang dokter tewas akibat siksaan ini. Demi menyelamatkan para peneliti dan staf di lembaga yang ia pimpin, Achmad Mochtar kemudian menyetujui perjanjian dengan Kenpetai atau polisi Jepang. Dalam perjanjian tersebut, Mochtar bersedia dinyatakan bersalah atas kematian 900 orang romusha tersebut asalkan stafnya dibebaskan.

Eksekusi Mati yang Brutal

Staf dan peneliti Lembaga Eijkman dibebaskan, namun nasib Achmad Mochtar berakhir tragis. Ia menerima hukuman pancung pada 3 Juli 1945. Namun tidak berhenti sampai di situ saja, sebuah catatan harian tentara Jepang menyebutkan bagaimana jasadnya digilas dengan mesin gilas uap sebelum akhirnya dibuang ke liang kuburan masal.

Makam Achmad Mochtar [Image Source]
Makam Achmad Mochtar [Image Source]
Sejak kematiannya pada tahun 1945, lokasi jenazahnya tidak diketahui secara pasti. Setelah investigasi yang dilakukan penerusnya, Sangkot Marzuki yang menjadi Direktur Lembaga Eijkman dan koleganya Kevin Baird, barulah ditemukan makamnya di Ereveld, Ancol tahun 2010.

Rencana Kejam yang Terungkap

Sangkot dan rekannya melakukan penelitian dan membaca ulang sejumlah memoir orang-orang yang selamat dari tragedi tersebut. Mereka juga mewawancarai keluarga dan keturunan Mochtar. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Mochtar sengaja dikambinghitamkan untuk kejahatan perang yang dilakukan Jepang sendiri.

Achmad Mochtar dan keluarganya [Image Source]
Achmad Mochtar dan keluarganya [Image Source]
Tahun 1994-1995 adalah masa ketika kekuasaan Jepang mulai lemah dan tentara sekutu sudah sampai di Indonesia Timur. Jepang yang bersiap menghadapi perang melawan sekutu dan pasukan Indonesia yang ingin merdeka menjadi panik. Mereka membutuhkan vaksin tetanus untuk mengobati mereka yang terkena tetanus setelah mengalami luka tusukan.

Menurut analisa para peneliti ini, para romusha sengaja disuntik dengan toksin tetanus untuk mengetahui keampuhan vaksin tetanus. Namun ternyata gagal dan menewaskan ratusan orang. Seandainya kegagalan eksperimen ini diketahui pada masa itu, maka Jepang akan dituduh melakukan kejahatan perang.

Sangkot Marzuki dan Kevin Baird
Sangkot Marzuki dan Kevin Baird menuliskan hasil penelusuran mereka dalam sebuah buku

Karena itu mereka butuh kambing hitam dan Lembaga Pasteur tidak bisa disalahkan karena direkturnya orang Jepang. Maka akhirnya Achmad Mochtar yang punya posisi strategis dan banyak tahu rencana Jepang menjadi kambing hitam.

Atas jasa dan pengorbanannya yang luar biasa ini, namanya kemudian diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bukittinggi. Pahlawan bukan hanya mereka yang angkat senjata dan maju ke medan perang. Bahkan dokter juga memiliki jasa yang besar dan pantas disebut pahlawan.

Ia rela menyelamatkan rekan-rekannya yang saat itu disiksa dengan kejam, meski akhirnya ia sendiri harus dieksekusi dengan brutal. Kematiannya menjadi salah satu penanda kekejaman Jepang dalam sejarah kelam penjajahan di Indonesia. Maka sudah selayaknya kita tidak melupakan jasa dokter hebat yang harus menjadi martir demi menyelamatkan nyawa orang lain.

Written by Tetalogi

Leave a Reply

5 Dosa Perancis Pada Muslim Timur Tengah

5 Bencana Ini Terjadi Andai Serangga Musnah dari Muka Bumi