in

Abdurrahman, Leluhur Anies Baswedan yang Bersahaja dan Berjasa Pada Negara

Anies Baswedan kini tengah meretas jalan untuk menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Berpasangan dengan Sandiaga Uno, Anies bersaing ketat dengan dua pasangan lainnya yakni Agus Harimurti-Sylvia Murni dan Ahok-Djarot berebut tiket ke Balai Kota Jakarta.

Sebelum maju sebagai calon Gubernur yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Anies pernah menjadi Menteri Pendidikan Nasional di kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla. Tapi pada 27 Juli 2016, Anies kena reshuffle. Posisinya kini digantikan oleh Muhadjir, mantan Rektor Muhammadiyah. Sekarang penggagas Indonesia Mengajar itu tengah meretas asa, mencoba peruntungan politiknya di pemilihan gubernur di Jakarta. Dengan seabrek pengalaman serta kiprahnya, Anies sebenarnya calon potensial memimpin ibukota. Apalagi bila di tambah dengan jejak sejarah keluarganya, Anies bisa dikatakan bukanlah orang biasa saja.

Sikap serta kepintaran Anies tak lepas dari latar belakang keluarganya. Salah satu yang banyak mempengaruhi Anies adalah sang kakek, Abdurrahman Baswedan atau dikenal dengan panggilan AR Baswedan. Ya, kakek Anies ternyata bukanlah orang sembarang. Kakeknya adalah tokoh yang banyak berjasa bagi republik ini.

Abdurrahman Baswedan dan kecintaannya pada tanha air [image source]
AR Baswedan sendiri lahir di Surabaya, 9 September 1908. Ia tokoh dengan sederet profesi yang komplet. Baswedan pernah jadi seorang jurnalis. Ia juga tokoh pergerakan di zamannya. Pernah jadi diplomat. Pintar menulis, hingga ada yang menyebutnya Baswedan seorang sastrawan.

Sebelum Indonesia merdeka, Baswedan telah menorehkan jejaknya dalam sejarah republik. Dia pernah tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan yang dibentuk di era Jepang, menjelang Indonesia merdeka.

Jejak politiknya juga berderet. Baswedan pernah tercatat sebagai Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dan Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. Dan pasca kemerdekaan, Baswedan sempat masuk kabinet. Ia jadi Wakil Menteri Muda Penerangan  pada Kabinet Perdana Menteri Sjahrir.

Baswedan juga jago lobi. Ia piawai berdiplomasi. Saat jadi diplomat, Baswedanlah yang sukses meyakinkan Mesir, hingga negara tersebut mengaku secara de facto kemerdekaan Indonesia. Sebagai keturunan Arab, tentu memudahkan Baswedan dalam berkomunikasi dengan negara-negara di Timur Tengah.

Menlu Adam Malik dan AR Baswedan bersama Pemerintah Mesir [image source]
Ada sebuah cerita menarik tentang komitmen Baswedan kepada republik. Pada awal Agustus 1934, di Harian Matahari, muncul sebuah artikel yang cukup menyentak. Artikel itu ditulis oleh seorang peranakan Arab. Baswedan namanya. Di artikel berjudul, ” Peranakan Arab dan Totoknya,” dengan lugas Baswedan menguraikan sikapnya. Ia menulis, di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Ia pun dengan tegas menyebut Indonesia adalah Tanah Airnya. Dan, ia pun mengajak semua keturunan Arab di Indonesia satu sikap dengannya. Menariknya, terpampang foto Baswedan yang mengenak blankon.

Lebih jauh, di artikel itu pula Baswedan mengatakan tentang perlunya peranakan Arab membuat satu partai. Itulah awal mula ide didirikannya Partai Arab Indonesia (PAI). Ide itu pun terus bergulir, hingga kemudian digelar konferesi keturunan Arab di Semarang.

AR Baswedan mengajak rekan-rekan keturunan Arab untuk satu suara dengannya [image source]
Di konferensi itu pula Baswedan kembali menegaskan sikapnya tentang Tanah Air Indonesia. Serta ajakan-ajakan kepada seluruh keturunan Arab di Indonesia untuk bersatu membantu perjuangan Indonesia untuk merdeka. Baswedan juga bicara tentang integrasi, serta ditinggalkannnya kehidupan ekslusif kalangan keturunan Arab. Pasca konferensi ide mendirikan partai pun direalisasikan. Hingga kemudian berdiri Partai Arab Indonesia. Banyak tokoh keturunan Arab yang ikut aktif diantaranya Hamid Algadri, Ahmad Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut, Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib, dan lain sebagainya. Dan Baswedan jadi ketua pertamanya. Lewat partai tersebut, Baswedan kian getol membela republik. Ia makin menegaskan jati dirinya sebagai rakyat Indonesia, yang punya kewajiban sama membela tanah airnya. Menariknya, ketika Indonesia sudah merdeka, PAI dibubarkan. Kemudian Baswedan yang fasih berbahasa Inggris, Belanda, dan Arab itu bergabung dengan Masyumi. Alasan dia masuk Masyumi salah satunya karena kagum dengan kejujuran Mohamad Natsir, salah satu tokoh utama Masyumi. Ketika Masyumi di bubarkan oleh Soekano, Baswedan memilih jalur budaya. Bersama koleganya ia mendirikan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta. Baswedan juga sempat jadi  pelindung Teater Muslim.

Kawan-kawan senimannya banyak. Seniman seperti Arifin C. Noer, Abdurrahman Saleh, Taufiq Effendi, Chaerul Umam, bahkan Rendra, berkawan akrab dengannya. Saat Rendra hendak mementaskan lakon Kasidah Barzanji, Baswedan yang membantunya.

Ada kisah menarik lainnya tentang Baswedan. Pada 16 Maret 1986, Baswedan meninggal dunia dalam usia 77 tahun. Nah, sebelum meninggal Baswedan berwasiat, ia tak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia ingin ‘beristirahat’ di dekat para pejuang yang dimakamkan di Tanah Kusir. Di TPU Tanah Kusirlah kemudian Baswedan di makamkan, sesuai wasiatnya.

Nah, saat Baswedan sakit keras, ada kisah menarik. Informasi sakitnya Baswedan pun menyebar kemana-mana.  Salah satu yang kaget dengan kabar sakitnya Baswedan adalah Romo Dick Hartoko. Ketika itu, Romo Dick akan memimpin misa di Gereja Katolik Baru, sebuah gereja tua di Yogyakarta. Sesaat misa digelar, Romo Dick mendengar kabar Baswedan sedang sakit. Ia pun dengan spontan meminta para jemaah yang hadir di acara misa mendoakan Baswedan agar cepat sembuh. Ya, Baswedan memang bukan tokoh Islam dan Arab yang ekslusif. Ia berkawan karib dengan siapa saja, tanpa memandang agama dan latar belakang suku. Dengan Romo Dick, ia cukup karib.

Jejak Baswedan di dunia jurnalistik pun menarik untuk dikisahkan. Ia belajar jurnalistik dari seorang keturunan Tionghoa, Liem Koen Hian, pemimpin dan pendiri koran Sin Tit Po. Bahkan di harian itu pula Baswedan merintis karir jurnalistiknya sebagai penulis dan wartawan. Selain di harian Sin Tit Po, Baswedan juga pernah berkarir di harian Matahari.

Kisah menarik lainnya tentang Baswedan adalah saat ia ditangkap Kempetai, polisi rahasia Jepang yang terkenal kejam. Dia divonis hukuman mati. Pagi hari, Baswedan bersama tawanan lain dijemur di pekarangan markas polisi Jepang tersebut. Untung saja, ketika itu muncul Mr Singgih anggota Pusat Tenaga Rakyat. Mr. Singgih kaget melihat Baswedan ditawan. Ia pun minta Baswedan dibebaskan dengan alasan dia adalah anak buahnya. Oleh polisi Jepang, Baswedan pun akhirnya dibebaskan.

Abdurrahman Baswedan hidup sederhana dan tak pernah punya rumah [image source]
Baswedan juga tokoh yang sederhana. Pertama ia menikah dengan Sjaichun. Tapi sang istri pada tahun 1948 meninggal karena penyakit malaria. Kemudian Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis. Di rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Baswedan menikah. Wali yang menikahkannya adalah  Natsir. Sampai meninggalnya, Baswedan tak punya rumah. Itu bukti, ia bukan tokoh pengejar kekayaan. Padahal, kalau dia mau, dengan pengaruhnya ia bisa saja memanfaatkan itu. Tapi sampai akhir hayatnya, ia tetap bersahaja. Salah satu harta ‘mewahnya’ adalah sebuah mobil tua hadiah dari Adam Malik, Wakil Presiden ketika itu.

Sang cucu, Anies Baswedan punya kenangan manis bersama sang kakek. Salah satu kenangan manisnya itu adalah saat Anies masih sekolah di sekolah dasar. Anies masih ingat, saat itu ia masih kelas V SD. Oleh sang kakek, Anies sering dapat tugas mengetik tulisan. Sang kakek yang mendiktekan, Anies yang mengetiknya.

” Dia selalu mendikte, dan saya yang mengetik. Lalu, saya pula yang mengirim ke kantor pos,” kata Anies mengenang sang kakek seperti dikutip Kompas.com.

Bagi Anies, sang kakek adalah sosok yang melampui zaman. Ide, gagasan, serta sikapnya mencerminkan semangat kebangsaan yang kental. Dan ada kalimat sang kakek yang sampai sekarang terpatri di ingatannya. Sang kakek pernah mengatakan bahwa nasionalisme bukan karena darah, melainkan karena pendidikan. Nasionalisme sebuah pilihan. Nasionalisme adalah keyakinan yang dibangun lewat pendidikan. Kalimat itulah yang menginspirasi dirinya untuk terjun ke dunia pendidikan.

Written by Agus Supriyatna

Leave a Reply

Terowongan Niyama, Saksi Bisu Kekejaman Jepang pada Romusha di Tulungagung

Vlad Tepes, Sosok Dracula Dunia Nyata yang Sadis dan ‘Haus Darah’