in ,

Fenomena Joki Strava, Jasa Lari bagi yang Ingin Mengais Validasi?

Fenomena joki Strava, bikin kelihatan sehat tanpa perlu lari. [Sumber gambar]

Di media sosialnya setiap minggu selalu pamer mampu lari 5 kilometer, tapi saat di kantor naik-turun tangga saja sudah letoy dan dengkul gemeter. Ah, ini beneran pelari atau cuma minta bantuan joki?

Ya, sekarang masyarakat Indonesia punya budaya baru bagi mereka yang FOMO dengan olahraga lari, memanfaatkan jasa joki Strava untuk mengais validasi. Jadi, tidak perlu kehabisan napas untuk jogging karena sudah ada mereka yang membantu Anda untuk mempertahankan ranking.

Tak perlu capek lari, pakai joki hasilnya sudah pasti

Joki Strava kini ramai dibicarakan, terutama mereka yang senang berolahraga lari. Pada dasarnya, Anda menggunakan jasa orang lain berlari menggunakan akun Strava Anda agar bisa update hasil ‘peras keringat’ di media sosial.

Dengan begitu, seorang pengguna aplikasi pelacak aktivitas kebugaran dan olahraga tersebut tak perlu repot-repot capek kaki. Tinggal serahkan gadgetnya untuk diselesaikan oleh para pelari. Hasilnya pun juga mengesankan sehingga cukup membanggakan untuk dipampang di media sosial, meski yang punya Strava cuma ongkang-ongkang kaki menunggu si joki.

Joki lari tanda Indonesia darurat FOMO?

Di berbagai komunitas atau kelompok pelari, fenomena ini kencang berdesir dan jadi ajang nyinyir. Hanya untuk update dan mendapatkan pujian dari anggota lainnya, makin banyak orang yang berani bohong dan memanfaatkan jasa joki Strava ini.

Hal ini makin mengungkapkan kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu sarang para FOMO terbesar di dunia. Bukannya berusaha sendiri, justru makin berani mengungkapkan ketidakjujuran tanpa peduli dengan harga diri.

Jadi joki Strava agar ‘kantong’ lebih bahagia

Entah kita harus khawatir atau merasa lega, pasalnya fenomena ini seperti ‘membuka’ lapangan kerja baru walaupun harus dibalut dengan kebohongan. Kepada kompas.com, seorang pelari muda asal Jakarta Barat bernama Jason mengaku bahwa dirinya bisa meraup untung banyak dari aktivitas yang masih diragukan keabsahannya ini.

Jason mengaku bahwa dari menjadi joki, ia bisa mendapatkan uang yang menjanjikan setiap kali berlari. Dengan kemampuan pace (kecepatan lari) yang cukup mumpuni, banyak orang mempercayakan akun Strava mereka untuk dijalankan oleh anak muda ini yang hasilnya kemudian bisa dipakai untuk uang jajan atau ditabung.

Sekali lari bisa dapat untung hingga Rp. 300.000

Pelari jogging berusia 16 tahun ini mengaku bahwa besaran tarif untuk jasa joki Strava ini berbeda-beda. Masing-masing ditentukan dari tingkat kesulitan yang harus dihadapi, ditambah dengan nego-nego sakti antara pemakai jasa dan si joki. Dirinya mengaku bahwa untuk pace empat (per lima kilometer), ia mematok tarif hingga Rp. 300.000 setiap melahap lima kilometer. 

Dirinya mengaku bahwa ia melakukan ini hanya ketika ada teman atau orang yang meminta bantuannya. Prosesnya, tinggal setujui harga lalu titipkan gadget kepada Jason untuk dibawa berlari.

Waspada hilangnya jati diri

Dikutip dari kompas.com, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menyebut bahwa fenomena maraknya jasa joki Strava ini memang ada kaitannya dengan faktor fear of missing out (FOMO). Banyak orang ingin ikut-ikutan disebut pelari jagoan tapi tidak punya dan tidak mau mengembangkan kemampuan.

Sementara psikolog dan dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo menjelaskan bahwa haus validasi ini berakar dari bagaimana seseorang menjalani masa kecilnya, terutama berakar pada pola asuh yang mereka terima. Ia mengingatkan bahwa validasi memang memberikan rasa nyaman sesaat, tapi jika terus-terusan digali, justru akan mengakibatkan hilangnya jati diri.

Menurut Ratna, ketergantungan pada pendapat orang lain bisa memicu rasa kurang percaya diri. Dalam level yang lebih parah, Anda bisa merasa depresi hanya karena tidak adanya pujian atau pengakuan dari orang lain.

Written by Bayu Yulianto

Sabarnya Damkar, Laporan Minta Bantuan Hadapi Ular Gaib pun Didengar