in

Mengenang Arif Rahman Hakim, Mahasiswa yang Kematiannya Sanggup ‘Melengserkan’ Sukarno

Pergolakan politik Indonesia yang terjadi pada tahun 1966, tercatat sebagai peristiwa bersejarah yang menjadikan figur mahasiswa sebagai motor penggerak dalam aksi tersebut. Dilansir dari tirto.id, tujuan mereka yang kala itu terjadi pada Selasa, 24 Februari 1966 adalah, menggagalkan acara pelantikan anggota Kabinet Dwikora II.

Tak hanya berhasil memobilisasi massa dalam jumlah besar, para mahasiswa juga melakukan berbagai aksi seperti menyetop berbagai kendaraan di wilayah-wilayah strategis ibukota, mengempesi ban-ban, hingga membuat lalu-lintas lumpuh total. Sayang, peristiwa besar itu juga meminta tumbal nyawa seorang aktivis yang bernama Arif Rahman Hakim, yang sosoknya tercatat sebagai martir pertama dari kalangan mahasiswa yang meregang nyawa di tengah-tengah aksi demonstrasi.

Sosok muadzin yang religius

Arif Rahman Hakim yang lahir di Padang, Sumatra Barat, 24 Februari 1943, merupakan sosok pemuda yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang relijius. Dilansir dari jakarta.go.id, Arif merupakan seorang Muadzin (pengumandang adzan tanda waktu shalat tiba) di lingkungannya. Pendidikan SD hingga SMA-nya diselesaikan di Padang dan kemudian berlanjut ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dikenal sebagai sosok yang relijius [sumber gambar]
Di bangku kuliah inilah, nalar kritisnya mulai terbentuk. Hingga adanya pelantikan Kabinet Dwikora II yang terjadi pada 21 Februari 1966, membuat ia dan rekan-rekan mahasiswa lainnya memutuskan untuk turun ke jalanan menentang hal tersebut. Dikutip dari laman tirto.id, 3 hari setelah pengumuman disampaikan, tepatnya pada Februari 1966, seluruh aktivis mahasiswa tumpah ruah memenuhi jalanan. Arif termasuk berada di barisan mereka dengan menggunakan rompi kuning sebagai identitas dirinya adalah mahasiswa UI.

Tertembak senjata aparat saat mengikuti demo menentang pemerintahan Sukarno

Tak hanya memenuhi jalanan, aksi demo itu juga diwarnai dengan aksi mahasiswa yang mengempesi ban-ban, memblokir jalan-jalan strategis hingga membuat lalu-lintas lumpuh total. Menurut catatan yang ditulis Yozar Anwar Sebagai salah satu pimpinan demonstran KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dikutip dari laman historia.id mengisahkan, Arief saat itu tengah berdemonstrasi di sekitar Lapangan Banteng, dimana posisi para demonstran didesak oleh aparat keamanan yang terdiri dari pasukan Resimen Pelopor (Menpor), Divisi Siliwangi (Batalyon 317 dan Batalyon 323) dan Resimen Tjakrabirawa sebagai lapis terakhir penjagaan Istana Negara.

Gulirkan Tritura yang menentang kebijakan Sukarno [sumber gambar]
Di Istana Negara sendiri, rapat Kabinet Dwikora tengah berlangsung dan dipimpin oleh Presiden Sukarno. Masih dalam catatan Yozar, aparat keamanan mulai membuat pagar yang sangat rapat dan mulai menggunakan sangkur saat barisan demonstran masuk ke wilayah ‘Ring Satu”, yang dijaga oleh pasukan Tjakrabirawa. Di tengah hiruk pikuk yang ada, terdengar rentetan senjata AK-47 membelah barisan demonstran mahasiswa hingga membuat mereka histeris. Keadaan makin runyam ketika butiran-butiran proyektil peluru mengenai tubuh beberapa demonstran, dimana Arief Rahman Hakim adalah salah satu korbannya.

Dipuji sebagai pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (AMPERA)

Melihat beberapa mahasiswa tergeletak di jalanan, barulah moncong senapan berhenti menyalak. Nahasnya, kondisi Arif diketahui menderita luka tembak paling parah. Jaket kuning yang dikenakannya pun berubah kontras karena berlumuran dengan darah. Sayang, nyawanya tak sempat diselamatkan. Dikutip dari historia.id, mahasiswa asal Padang itu menghembuskan nafas terakhirnya pada jam 12.45.

Kematian Arif yang tragis, akhirnya menjadi simbol perlawanan mahasiswa pada pemerintahan Sukarno pada saat itu. Dengan gugurnya Arif pula, menjadikan dirinya sebagai martir pertama dari kalangan mahasiswa. Bahkan, menurut orang terdekat Presiden Sukarno yakni Maulwi Saelan menuturkan, sosok Arif dipuji-puji oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai pahlawan AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat).

Kematiannya mempercepat lengsernya Sukarno dan Orde Lama

Kematian Arif yang terbilang tragis, akhirnya menjalar kemana-mana dan semakin melipatgandakan kekuatan untuk menentang kekuasaan Sukarno. Dilansir dari tirto.id, ada 9 Maret massa KAPPI dan Laskar Arif Rahman Hakim menduduki gedung Departemen Pendidikan dan kantor berita Hsin Hua. Sebelumnya, laskar yang dibentuk pada 4 Maret 1966 itu sempat menyerang Departemen Luar Negeri. Mereka leluasa bergerak karena dilindungi oleh tentara sehingga pihak kepolisian tak bisa berbuat banyak. Sukarno pun sempat menggelar pertemuan dengan para pejabatnya hingga beberapa kali karena melihat keadaan sedemikian genting.

Sukarno pun lengser setelah keluarnya Supersemar [sumber gambar]
Sukarno yang khawatir, memutuskan untuk langsung terbang ke Istana Bogor dengan ditemani Soebandrio, Chaerul Saleh, dan Leimena. Amir Machmud yang melaporkan kejadian pada Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Kostrad, memerintahkan dirinya untuk menemui presiden di Bogor. Pada pertemuan inilah, keluar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang hingga kini masih diliputi kontroversi. Kelak, Soeharto memanfaatkan Supersemar untuk menghimpun kekuasaan dan menjadi pintu masuk kejatuhan Sukarno.

BACA JUGA: Soe Hok Gie, Aktivis Sosialis yang Menjadi Kawan Dekat Prabowo Subianto Saat Muda

Sejarah perpolitikan di masa lalu yang penuh dengan pergolakan dan kejadian memilukan, seharusnya bisa disikapi dengan cara mengambil benang merah dari peristiwa yang ada. Pun di era modern seperti saat ini, gerakan kritis mahasiswa akan selalu ada seiring dengan kondisi politik yang dilakukan oleh para elite yang memimpin negeri ini. Sementara kekerasan yang acap kali terjadi, sudah waktunya digantikan dengan aksi damai tanpa harus mengundang tindakan represif dari aparat berwajib.

Written by Dany

Menyukai dunia teknologi dan fenomena kultur digital pada masyarakat modern. Seorang SEO enthusiast, mendalami dunia blogging dan digital marketing. Hobi di bidang desain grafis dan membaca buku.

Leave a Reply

Cosplay Hingga Selfie Nicholas Saputra, Inilah 5 Hal Unik yang Mewarnai Pilkada 2019

Pura-pura Dijambret dan Lapor Polisi, Wanita Ini Berakhir di Jeruji Besi