in

3 Wartawan Indonesia yang Berani Mempertaruhkan Nyawa Meliput di Medan Perang

Ilustrasi wartawan perang [Image Source]

Ketika membaca berita-berita konflik atau perang, pernah tidak kepikiran kenapa kisah tersebut bisa sampai kita baca? Hmm, rata-rata mungkin tak pernah bernalar seperti itu. Padahal, berita perang yang sampai adalah hal yang sangat penting pada prosesnya. Ya, mereka lahir karena ada para wartawan yang seolah siap mati demi menyajikan informasi tersebut.

Jadi, wajar jika kemudian wartawan yang meliput di medan perang dianggap hebat. Liputan di medan perang memang sarat dengan resiko. Penuh tantangan.  Hanya wartawan pilihan yang berani melakukan itu. Dan sesungguhnya tidak banyak wartawan yang berani melakukan itu. Mungkin, wartawan-wartawan dari koran terkemuka dunia yang berani melakukan itu.

Ilustrasi wartawan perang [Image Source]
New York Times misal, media satu ini begitu berani mengirimkan para wartawannya ke medan berdarah. Namun hasilnya tentu sangat luar biasa. Saat perang dunia misalnya, hasil liputan para wartawan New York Times dari pelbagai belahan konflik begitu lengkap. Mereka pun terdepan dan terlengkap dalam mengabarkan salah satu perang terbesar di abad modern tersebut.

Berkaca dari itu, sebenarnya Indonesia juga punya wartawan-wartawan pemberani, yang punya nyali mempertaruhkan nyawa demi bisa mengabarkan apa yang terjadi di wilayah yang sedang diamuk perang. Siapa sajakah para wartawan Indonesia yang berani tersebut? Berikut daftarnya.

1. Alfian Hamzah

Alfian Hamzah, adalah salah satu wartawan Indonesia yang berani mempertaruhkan nyawa untuk meliput di wilayah yang sedang diamuk perang. Medan perang yang diliputnya adalah bumi Serambi Mekah, saat terjadi pergolakan antara TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Afian Hamzah [Image Source]
Reportase Alfian dari Aceh sangat memikat. Ditulis dengan gaya jurnalisme sastrawi, sebuah genre penulisan jurnalistik yang lebih menitik beratkan pada penuturan naratif. Laporannya tak hanya mendalam, tapi juga bercerita. Membaca reportase Alfian di Aceh, seperti membaca sebuah novel.

“Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan,” demikian judul hasil liputan Alfian selama di Aceh. Hasil liputannya, dimuat di Majalah Pantau, sebuah majalah yang pernah terbit dan konsen kepada penulisan jurnalisme sastrawi. Sayang majalah tersebut sudah tak terbit lagi.

Berbulan bulan Alfian meliput di Aceh. Ia ikut masuk hutan, bersama pasukan TNI yang memburu kelompok GAM. Tidur di hutan, dan ikut menyaksikan sendiri brutalnya perang di bumi Serambi Mekah. Tentu bukan tanpa risiko. Alfian bisa saja terbunuh ketika terjadi kontak senjata. Bahkan bisa diculik GAM karena dianggap antek TNI.

Salah satu kekuatan dari hasil reportase Alfian adalah kelengkapan laporannya. Ia memang total meliput. Ikut masuk hutan, bahkan sampai berhari-hari. Tidur pun di hutan. Masuk rawa, menyebrang sungai. Menaiki bukit dan meniti tebing. Itu menu sehari-hari yang dijalani Alfian selama meliput di Aceh.

2. Farid Gaban

Wartawan lain yang tak kalah hebat dan berani adalah Farid Gaban. Farid pernah berkarir di Tempo, salah satu media terkemuka di Indonesia. Selain di Tempo, Farid juga sempat bekerja untuk Republika. Nah, saat bekerja di Republika itulah, Farid pernah dikirimkan untuk meliput perang di kawasan Balkan, Yugoslavia.

Farid Gaban [Image Source]
Kala itu, pasca kekuasaan Komunis di  Yugoslavia bubar, beberapa daerah bagian di negara tersebut menyatakan merdeka. Salah satu yang memproklamirkan diri  adalah Bosnia Herzegovina. Tapi kemerdekaan Bosnia tak diakui kelompok Serbia yang berambisi menciptakan Serbia Raya di bumi Balkan. Perang pun pecah. Bosnia dibombardir.

Bahkan terjadi pembunuhan massal. Saat perang masih berkecamuk, Farid pergi ke Yugoslavia. Tepatnya meliput ke Sarajevo,  Bosnia. Meliput ke Sarajevo, tentu bukan liputan biasa. Tapi reportase yang penuh risiko. Nyawa yang dipertaruhkan.

Saking tak amannya, sampai sampai PBB yang menempatkan pasukan perdamaiannya di sana, angkat tangan tak berani menjamin keselamatan para wartawan. Termasuk ketika Farid hendak masuk ke Sarajevo.

Sebetulnya, ketika Farid dan satu  wartawan lainnya dari Indonesia bermaksud hendak ke Bosnia, orang-orang PBB, yang bertugas di sana, tak mengizinkan untuk mendarat di Sarajevo. Mereka beralasan situasi di Bosnia sangat berbahaya. Kata mereka, pasukan PBB saja kerap diserang para Sniper, apalagi orang sipil.

Tapi Farid dan kawannya  bersikukuh tetap untuk meliput. Orang-orang  PBB pun akhirnya menyerah, mengizinkan Farid terbang ke  Sarajevo, dengan catatan resiko terburuk ditanggung sendiri. Dengan  memakai pesawat PBB, akhirnya Farid dan satu wartawan lainnya dari Indonesia berangkat ke Sarajevo lewat Split, Kroasia.

Dan, Farid benar- benar datang ke Bosnia. Di sana, ia mewawancarai Presiden Bosnia ketika itu, Alija Izetbegovic. Farid juga secara lengkap melaporkan situasi kota Sarajevo. Hasil liputan Farid di Bosnia, kemudian dimuat di Republika. Laporan jurnalistik yang menarik, ditulis dengan gaya bertutur. Di kemudian hari hasil reportase Farid di Bosnia, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul,” Dor! Sarajevo : Sebuah Rekaman Jurnalistik Nestapa Muslim Bosnia.”

3. Zaim Uchrowi

Zaim Uchrowi, adalah wartawan yang ikut bersama Farid meliput ke Bosnia. Ia juga wartawan Republika. Awalnya, Zaim dan Farid dipersulit untuk bisa sampai ke Sarajevo. Tapi, ia bersikukuh, apa pun resikonya harus bisa mendarat di Sarajevo.

Zaim Uchrowi [Image Source]
Zaim dan Farid, datang meliput ke Bosnia, karena merasa negara tersebut sepertinya sengaja dikucilkan.  Negara-negara barat, terlihat setengah hati menghentikan perang. Bahkan Bosnia kena embargo senjata. Embargo yang kemudian membuat negara tersebut jadi sasaran empuk pasukan milisi Serbia. Perang pun tak seimbang. Milisi Serbia didukung oleh persenjataan modern bekas angkatan perang Yugoslavia. Sementara para pejuang Bosnia mengandalkan senjata seadanya.

Dari sisi pemberitaan pun, media- media barat seperti menerapkan standar ganda. Apa yang terjadi di Bosnia tak dieskpos dengan berimbang. Maka, atas dasar itulah, Republika kemudian mengirim Farid dan Zaim untuk datang langsung ke Sarajevo, ibukota Bosnia. Yang pasti datang meliput ke Sarajevo bukan seperti liputan wisata. Bukan piknik. Tapi liputan yang berbahaya. Sebab bisa saja, mereka jadi sasaran empuk para sniper Serbia yang mengepung kota Sarajevo.

Karena itu, ketika hendak terbang ke Bosnia pun, Zaim dan Farid, harus pakai rompi anti peluru.  Farid sendiri, kemudian menghibahkan jaket anti pelurunya yang dibeli dari seorang Palestina, ke pejuang Bosnia. Untungnya, mereka selamat, hingga  pulang kembali ke Indonesia. Buku berjudul ” ” Dor! Sarajevo : Sebuah Rekaman Jurnalistik Nestapa Muslim Bosnia,”  jadi jejak hasil liputan mereka. Sebuah buku yang menggambarkan Bosnia yang tengah ‘sekarat’ dihajar milisi Serbia.

Setiap pekerjaan memang punya risikonya sendiri. Tapi kalau boleh mengatakan yang paling berat, maka wartawan perang jelas jadi profesi dengan tingkat risiko luar biasa. Mereka tujuannya hanya satu yakni menyampaikan berita, namun usaha untuk ke sana benar-benar bisa bikin mati.

Written by Agus Supriyatna

Leave a Reply

Potret Kota Hantu Namie, Daerah di Jepang yang Pernah Dihajar Tsunami dan Radiasi Nuklir

Inilah Kabar 5 Artis Pemeran Shaolin Popey yang Bikin Kangen