in

Mengintip Tradisi Khitan Wanita dari Berbagai Suku di Indonesia

Antara sunat dan melahirkan dua hal yang kadang jadi bahan perdebatan anak-anak kecil. Di mana anak laki-laki menganggap seorang perempuan itu enak karena nggak harus merasakan sakit karena sunat. Di lain pihak, si perempuan iri karena lawan jenisnya itu tidak melahirkan anak. Ya, namanya anak kecil, mereka masih belum tahu bahwa dua jenis manusia itu memiliki kewajiban masing-masing. Mungkin kamu dulu juga begitu. Padahal di berbagai daerah kejadiannya tidak selalu begitu. Nyatanya ada praktik sunat atau khitan pada wanita. Hingga saat ini, kebiasaan tersebut masih menjadi kontroversi. Dalam kacamata medis hal itu tidak disarankan.

Bahkan negara kita juga melarang pemotongan sebagian organ kelamin wanita. Mirisnya, informasi seputar bahayanya baik dalam hal kesehatan fisik maupun mental belum banyak diketahui oleh masyarakat. Terbukti ada suku-suku atau kelompok masyarakat yang masih menganggap khitan pada wanita adalah tradisi yang membawa manfaat baik terutama agar si wanita lebih terhormat dan terjaga. Ada beberapa tradisi khitan wanita yang masih langgeng di Indonesia saat ini. Tentu saja cara mengkhitan berbeda-beda di setiap daerah. Ada yang benar-benar memotong, namun yang berupa simbolis saja juga nggak sedikit. Berikut ini ulasan selengkapnya.

1 Upacara Bakayekan Suku Pasemah

Suku Pasemah bisa kamu temukan di sebuah pemukiman yang letaknya tidak begitu jauh dari perbatasan antara Sumatera Selatan dan Bengkulu. Secara Rinci sebagian besar penduduk Suku Pasemah ada di wilayah Kecamatan Pasemah Air Keruh, Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan,dan sekitarnya termasuk juga kawasan kota Pagar Alam, kecamatan Jarai, kecamatan Tanjung Sakti hingga Kota Agung. Hingga saat ini masyarakatnya masih melakukan sebagian adat yang diwariskan turun temurun. Salah satunya adalah upacara Bakayekan. Makna dari istilah tersebut adalah tradisi untuk membersihkan seorang gadis sebelum beranjak remaja. Jika tradisi itu dilakukan pada bayi maka disebut dengan Kayek Upik. Sedangkan Bakayekan sendiri adalah untuk anak perempuan. Bentuknya adalah sunatan atau khitan dan usia yang dianggap pas bagi anak perempuan untuk Bakayekan adalah 4 hingga 7 tahun.

Tradisi Sunat Wanita [image source]
Tradisi Sunat Wanita [image source]

Upacaranya digelar begitu meriah, pihak keluarga si anak perempuan yang akan disunat akan mengundang dan menjamu kerabat keluarga untuk bersama-sama merayakan Bakayekan. Waktu pelaksanaannya biasa dilakukan pada bulan Ramadhan. Sebelum disunat, anak perempuan akan dirias layaknya seorang pengantin dan dipakaikan baju adat Sumatera Selatan yaitu Betaju. Setelah itu pihak keluarga akan mengaraknya menuju ke sungai sambil diiringi dengan tabuhan rebana.

Pergi ke sungai itu bukannya tanpa alasan, tapi untuk mandi dan menyucikan diri. Baru setelah itu prosesi khitanan dilakukan oleh dukun Bakayekan dengan memotong bagian tertentu pada klitoris anak perempuan tersebut. Setelah itu dilakukan penguburan bagian klitoris yang dikhitan di bawah pohon kelapa. Kenapa kok kepala? Bagi masyarakat Suku Pasemah, pohon kelapa memiliki kesakralan tersendiri. Diharapkan nanti anak perempuan yang telah dikhitan akan seperti tunas kelapa yang bisa hidup di mana saja artinya saat besar nanti bisa hidup dan bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Jadi, ingat Pramuka ya? Tradisi yang dianggap bagian dari adat dan agama ini masih dilakukan hingga saat ini.

2. Adat Mo Polihu Lo Limu

Adat Mo Polihu Lo Limu bisa kamu singkat dengan istilah mandi lemon. Wah enak dong ya, bisa mencerahkan kulit layaknya mandi susu. Tapi tujuan utamanya bukan itu ternyata, Mandi Lemon yang menjadi salah satu adat masyarakat Gorontalo itu adalah sunatan untuk anak perempuan yang telah menginjak usia 2 tahu. Nama lainnya adalah Molubingo. Bagi orang Gorontalo, anak perempuan harus dikhitan agar bisa mengendalikan diri dari sifat-sifat buruk. Prakteknya tidak sama dengan sunat pada anak laki-laki dan hanya bersifat simbolis saja. Acar dimulai dengan mencubit atau membersihkan bagian kelamin anak perempuan dari selaput tipis.

Adat Mo Polihu Lo Limu [sumber gambar]

Setelah itu barulah mandi lemon. Si anak akan dipangku oleh orang tuanya di sebuah singgasana, kemudian diguyur dengan air lemon yang dicampur bunga-bunga. Saat mandi ada prosesi lain yang nggak kalah penting seperti tepuk mayang dan memecahkan telur. Udah mandi dan wangi, si anak akan didandani dengan riasan dan pakaian adat layaknya seorang pengantin. Para keluarga yang hadir turut memberikan doa agar kelak anak perempuan yang dikhitan itu akan menjadi pribadi dengan sifat baik.

3. Tradisi Makatte’

Tradisi Makatte’ dilakukan oleh masyarakat Suku Bugis dan ditujukan untuk anak perempuan, sedangkan sunatan untuk bocah laki-laki disebut dengan Massunna’. Selain tradisi adat, Makkatte juga dianggap sebagai ritual keagamaan. Oleh karena itu, hingga saat ini masih ada yang melakukannya. Anak perempuan yang dikkate’ bisanya berusia 4 hingga 7 tahun. Dan yang boleh menyunat hanyalah seorang Sanro yaitu para wanita ahli dan dipercaya oleh masyarakat Suku Bugis.

Tradisi Sunat Wanita [image source]
Tradisi Sunat Wanita [image source]

Tradisinya dimulai dengan memakaikan si anak pakaian adat lalu setelah itu dilakukan khitanan. Jika sudah selesai, maka ayah si anak akan mengusapkan gula merah. Harapannya agar kehidupan anak tersebut selalu manis di masa mendatang. Setelah itu masih ada beberapa rangkaian adat lagi. Seperti memakai baju bodo dan menggendong anak ke tempat yang tinggi. Agar si anak bahagia dan nggak trauma, maka diberi amplop berisi uang, tuh bukan anak laki-laki saja yang dapat angpau, perempuan juga. Acara ditutup dengan syukuran dan pembacaan ayat suci Al-quran secara bergiliran

Itulah beberapa tradisi sunatan anak perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Terlepas dari sentuhan adat maupun keagamaan, menurut kamu sendiri sunat pada perempuan itu perlu nggak sih?

Written by Febri

Leave a Reply

Inilah Kultus atau Aliran Paling Horror yang Pernah Ada, Bikin Merinding!

Wayang Suket, Karya Seni Unik dari Anyaman Rumput yang Penuh Nilai Filosofi