in

Chairil Anwar, “Si Binatang Jalang” yang Mati Muda Tapi Karyanya Abadi Hingga Seribu Tahun Lagi

Kalau sampai waktuku, ‘ku tak mau seorang ‘kan merayu, tidak juga kau… ,” familiar dengan petikan puisi tersebut? Mungkin kita sudah mengenal puisi berjudul Aku karya Chairil Anwar ini sejak di bangku sekolah. Puisinya sering muncul di buku pelajaran bahasa Indonesia dan tak jarang di soal ujian sekolah. Tercatat pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini diperkirakan sudah membuat 96 karya, di antaranya termasuk 70 puisi.

Sosok penyair yang fenomenal dengan “Aku ini binatang jalang” dalam larik puisi Aku yang ditulisnya ini hidupnya terbilang singkat. Ia meninggal 28 April 1949. Meski hidupnya singkat, karya-karya puisinya sekiranya masih akan abadi hingga seribu tahun lagi. Kisah hidupnya pun sangat menarik untuk diikuti.

1. Masih Punya Pertalian Keluarga dengan Perdana Menteri Pertama Indonesia

Chairil adalah anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Dikutip dari Wikipedia, jabatan terakhir Ayah Chairil adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Selain itu, Chairil juga masih punya ikatan keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak satu-satunya, Chairil mendapat kasih sayang berlimpah dari kedua orang tuanya dan dimanjakan. Hanya saja, Chairil punya karakter yang lebih keras kepala. Ia tipikal orang yang tak mau kehilangan apapun.

Masih Punya Pertalian Keluarga dengan Perdana Menteri Pertama Indonesia [ Image Source ]
Masih Punya Pertalian Keluarga dengan Perdana Menteri Pertama Indonesia [Image Source]
Setelah tamat Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk para pribumi pada masa penjajahan Belanda, Chairil melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Namun, ia kemudian berhenti sekolah di usia 18 tahun. Sejak usia 15 tahun, Chairil sudah punya tekad kuat untuk menjadi seorang seniman.

2. Setelah Orang Tuanya Bercerai, Chairil Pindah ke Batavia dan Mengenal Dunia Sastra

Kedua orang tua Chairil bercerai saat Chairil berusia 19 tahun. Setelah itu, Chairil ikut ibunya pindah ke Batavia (saat ini menjadi Jakarta). Di Batavia inilah, ia kemudian mulai berkenalan dengan dunia sastra. Dia memang tak melanjutkan pendidikannya, namun ia bisa menguasai sejumlah bahasa asing. Ia bisa menguasai bahasa Inggris, bahasa Jerman, juga bahasa Belanda.

Setelah Orang Tuanya Bercerai, Chairil Pindah ke Batavia dan Mengenal Dunia Sastra [ Image Source ]
Setelah Orang Tuanya Bercerai, Chairil Pindah ke Batavia dan Mengenal Dunia Sastra [ Image Source ]
Chairil juga membaca banyak karya pengarang dunia ternama. Beberapa di antaranya dia membaca karya Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Karya-karya para pengarang tersebut juga mempengaruhi tulisan Chairil. Tahukah apa judul puisi pertama Chairil yang dimuat dan membuat nama Chairil mulai terkenal? Tak lain adalah puisi berjudul Nissan yang dipublikasikan tahun 1942. Banyak sekali puisi Chairil yang saat itu ditolak oleh majalah Pandji Pustaka. Alasannya karena puisi-puisi karyanya saat itu dianggap terlalu individualistis serta tak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Saat itu, puisi-puisi chairil lebih banyak mengangkat tema kematian.

3. Kasih Tak Sampai Sang Penyair

Ada sebuah kisah kasih tak sampai yang dialami Chairil saat masih hidup. Saat ia bekerja sebagai penyiar radio Jepang di Jakarta, ia jatuh cinta pada seorang wanita bernama Sri Ayati. Hanya saja Chairil tak berani mengungkapkan perasaannya sampai akhir hayatnya.

Kasih Tak Sampai Sang Penyair [ Image Source ]
Kasih Tak Sampai Sang Penyair [ Image Source ]
Chairil kemudian menikahi Hapsah Wiraredja tanggal 6 Agustus 1946. Sayangnya, pernikahan yang dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa tersebut tak berumur panjang. Chairil dan hapsah bercerai pada akhir tahun 1948.

4. Chairil Dianggap Memiliki Seperangkat Ciri Seniman

Dalam tulisannya berjudul Chairil Anwar Kita, Sapardi Djoko Damono menuliskan bahwa Chairil Anwar memiliki seperangkat ciri seniman. Chairil Anwar diceritakan tak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan perilakunya menjengkelkan. Terlepas dari fakta atau fiksinya penggambaran tersebut, sosok Chairil Anwar ini memiliki dua sisi di mata masyarakat. Ia dikagumi tapi juga diejek. Ia menjengkelkan namun selalu dimaafkan.

Chairil Dianggap Memiliki Seperangkat Ciri Seniman [ Image Source ]
Chairil Dianggap Memiliki Seperangkat Ciri Seniman [ Image Source ]
Masih dalam tulisan Sapardi Djoko Damono, keinginan Chairil yang ingin menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum. Sehingga banyak orang sulit memahami sikapnya. Meski begitu, Chairil Anwar ini termasuk orang yang mudah sekali bergaul dengan seniman dalam bidang apa pun. Tak heran jika ia jadi orang yang paling banyak dikenal di antara mereka. “Chairil Anwar dan cara hidupnya yang ‘jalang’ telah menjadi semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun,” tulis Sapardi Djoko Damono.

5. Pada Akhirnya “Hidup Hanya Menunda Kekalahan”

Pada usia 20 tahun, Chairil meneriakkan keinginan untuk “hidup seribu tahun lagi”. Akan tetapi, pada usia 26 tahun ia menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan” seperti yang ia tulis dalam puisinya Derai-Derai Cemara.

cemara berderai sampai jauh,
terasa hari jadi akan malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipikul angin yang terpendam.

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Pada Akhirnya “Hidup Hanya Menunda Kekalahan” [ Image Source ]
Pada Akhirnya “Hidup Hanya Menunda Kekalahan” [ Image Source ]
Chairil Anwar merupakan seorang seniman yang mati muda. Sejumlah penyakit sudah menyerangnya di usia muda. “Si binatang jalang” ini pun meninggal di Jakarta, 28 April 1949 lalu dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Penyebab kematiannya ini tak diketahui pasti. Kalau menurut catatan rumah sakit, Chairil dirawat karena penyakit tifus. Tapi sebelumnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru. Infeksi yang terjadi pun membuat tubuhnya makin lemah dan muncul penyakit usus. Di akhir hayatnya, Chairil dalam kondisi panas tubuh yang tinggi sempat mengigau sambil mengucap, “Tuhanku, Tuhanku… .”

Penyair yang tak pernah secara tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu ini memang berpulang di usia yang masih muda. Meski begitu, karya-karyanya sepertinya masih akan abadi hingga seribu tahun lagi.

Written by Endah Boom

Leave a Reply

Tak Hanya Manusia, Hewan pun Bisa Jadi Transgender, Nih 5 Buktinya